JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf menegaskan bahwa terdapat sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang menabrak ketentuan yang sudah diatur oleh Undang-Undang (UU) eksisting dan juga UUD 1945. Menurut politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) itu hal tersebut sangat berbahaya bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara.
"Kami telah melakukan pencermatan yang serius dan komprehensif terhadap RUU ini, sehingga harus kami sampaikan kepada Pemerintah bahwa terdapat sejumlah pasal yang menabrak ketentuan yang sudah diatur oleh undang-undang eksisting bahkan UUD 1945. Ini jelas berbahaya bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara," tutur Bukhori dalam keterangan persnya kepada Parlementaria di Jakarta, Jumat (22/5).
Ia memaparkan, salah satu contoh pasal yang menabrak sejumlah UU itu di antaranya adalah Pasal 146 RUU Cipta Kerja terkait pembentukan lembaga sui generis bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
"Sebenarnya, ketentuan mengenai pengelolaan investasi tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Meskipun demikian pasal 23 C UUD 1945 menyebutkan: 'Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang'. Frasa "dengan undang-undang" berarti bahwa ketentuan terkait keuangan dan perbendaharaan negara termasuk di dalamnya pengelolaan investasi Pemerintah harus di atas UU tersendiri yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara," paparnya.
Bukhori menambahkan, kedua UU ini pada prinsipnya mengamanatkan ketentuan penatausahaan dan pengelolaan investasi pemerintah merupakan kewenangan Menteri Keuangan. Namun berdasarkan pasal 146 RUU Ciptaker, lanjutnya, dibentuk LPI dimana memiliki kewenangan yang sama dengan Menkeu dalam hal pengelolaan investasi Pemerintah. Salah satu implikasi yang akan timbul jika lembaga ini disahkan adalah kewenangan penatausahaan dan pengelolaan investasi Pemerintah yang seharusnya tetap pada Menkeu sebagaimana sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1 Tahun 2004 berpotensi dirampas oleh LPI. Artinya, RUU ini akan kontradiktif dengan amanat konstitusi.
"Kami menganggap pembentukan LPI ini adalah tindakan mubazir. Pada saat ini Investasi Pemerintah Pusat telah diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah. PP 63/2019 disusun berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh sebab itu LPI tidak diperlukan saat ini, cukup mengoptimalkan lembaga yang sudah ada, yakni Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)," tandasnya.
Sebagai informasi, LPI rencananya akan difungsikan untuk mengelola sejumlah dana yang bersumber dari cadangan devisa negara milik Bank Indonesia; akumulasi surplus perdagangan; sisa anggaran; dana hasil privatisasi aset-aset BUMN; dan penerimaan negara dari eskpor sumber daya alam. Selain itu, LPI juga dapat mengatur dana publik dan menginvestasikan ke aset yang luas dan beragam.
Kendati demikian, salah satu kelemahan LPI adalah lebih mengutamakan imbal hasil (return) daripada likuiditas, sehingga cenderung beresiko dibandingkan cadangan devisa yang tradisional sebagai stabilisator ekonomi. Selain alasan mubazir, rencana pembentukan LPI juga menuai kecemasan Bukhori. Kewenangan luar biasa yang dimiliki LPI berpotensi menjadi lembaga super body yang tidak tersentuh oleh audit BPK.
Hal ini cukup beralasan mengingat di dalam Pasal 153 RUU Ciptaker berbunyi: 'Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan'. Sedangkan pada Pasal 23E UUD Tahun 1945, berbunyi: 'Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri'.
"LPI ini tidak jelas kelaminnya. Dengan otoritas yang sedemikian besar, akan sangat beresiko dan kontradiktif dengan amanat konstitusi apabila LPI hanya diawasi oleh akuntan publik. Bukan hal yang mustahil lembaga ini akan bernasib sama dengan PIP " cetus legislator dapil Jawa Tengah I itu.
Anggota Komisi VIII DPR RI itu menerangkan, Indonesia pernah memiliki lembaga serupa LPI, yakni Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebelum akhirnya ditutup dan aset-aset PIP dialihkan kepada PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk membantu pendanaan Infrastruktur pada tahun 2015. Total dana yang dikelola PIP pada tahun 2015 senilai Rp 18,356 triliun.
"Fraksi PKS hadir dalam rapat panja pembahasan RUU Cipta Kerja sebagai upaya untuk mengawal pembahasan RUU Cipta Kerja. Ini wujud nyata keberpihakan PKS terhadap rakyat, yakni dengan melakukan pengawasan secara intensif dan memberi usulan konstruktif terhadap RUU yang berpotensi merugikan rakyat supaya tidak timbul kemudaratan di masa mendatang. Salah satunya dengan memanfaatkan kanal politik resmi yang telah disediakan oleh konstitusi," pungkasnya.(dep/sf/DPR/bh/sya) |