PARIS, Berita HUKUM - Kendati emisi karbon dari deforestasi dikurangi separuh di daerah tropis, 1,135 miliar ton karbon akan tetap keluar dari atmosfer, dan akan memberi kontribusi signifikan terhadap upaya mendesak untuk membatasi naiknya suhu global hingga kurang dari dua derajat Celcius, menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan hari ini. Temuan ini mengundang perhatian hingga peran penting untuk menurunkan deforestasi dalam memperlambat perubahan iklim menjelang konferensi PBB tentang perubahan iklim minggu depan.
Studi ini, Dapatkah emisi karbon dari deforestasi tropis turun sebesar 50% dalam 5 tahun?, yang terbit di jurnal ilmiah Global Change Biology edisi Desember, mengumpulkan data yang paling up-to-date untuk membuat pemetaan jumlah karbon di hutan tropis untuk menetapkan benchmark rata-rata emisi karbon tiap tahun yang disebabkan oleh deforestasi di daerah tropis. Hasil penelitian ini juga tersedia di Global Forest Watch Climate, alat pemetaan dan analisis baru yang memberdayakan pengguna dengan akses ke data tentang deforestasi tropis dan dampaknya terhadap perubahan iklim global.
"Mengurangi separuh emisi dari deforestasi dapat dicapai," kata Nancy Harris, co-author laporan dan manajer riset untuk Global Forest Watch di World Resources Institute. "Tapi pertama-tama Anda perlu benchmark yang kuat, transparan dan berdasarkan bukti yang untuk dapat mengukur kemajuan. Data berbasis satelit baru yang dipublikasikan dalam makalah ini dan tersedia secara online untuk umum, memberi kita titik awal yang diperlukan."
Pencapaian Brasil
"Tak ada satupun negara lain yang mampu mengurangi emisi lebih dari satu miliar ton karbon per tahun hanya dalam beberapa tahun," kata Daniel Zarin, penulis utama studi tersebut. "Tapi itu skala Brasil yang mengurangi emisi dari deforestasi antara 2004 dan 2009. Sayangnya, hal itu malah diimbangi oleh negara-negara tropis lainnya yang melakukan deforestasi lebih banyak."
"Keberhasilan Brasil dalam mengurangi deforestasi Amazon hampir 80 persen sementara pada saat yang sama data menunjukkan produksi pertanian juga dapat ditingkatkan," tambah Zarin. "Dan Brasil dapat berbuat lebih banyak lagi-jika Brasil menginginkan."
Brasil masih menempati urutan pertama di antara semua negara tropis untuk emisi karbon dari deforestasi tropis, tetapi juga yang paling besar dalam penurunan emisi selama sepuluh tahun. Pada 2003, deforestasi di Brasil sama dengan emisi 1,766 gigaton karbon--jumlah yang sama dengan emisi karbon dioksida Rusia pada 2013 dari bahan bakar fosil dan pabrik semen--tapi hanya 0,428 gigaton pada 2012. Emisi dari deforestasi bruto Brasil menyumbang 20 persen dari seluruh daerah tropis pada 2012, penurunan besar dari puncaknya 69 persen pada 2003.
"Keberhasilan bersejarah Brasil dicapai dari kombinasi perubahan kebijakan publik, transparansi, meningkatnya penegakan hukum dan tindakan sukarela di sektor swasta," kata Tasso Azevedo, seorang co-author studi dan ahli hutan dan perubahan iklim yang berbasis di Brasil.
Dari Brasil ke Indonesia dan Tempat lain
Setelah Brasil, Indonesia memiliki emisi gas rumah kaca tertinggi kedua dari deforestasi kotor. Emisi mereka mencapai puncaknya pada 2012 di Indonesia tapi menurun di 2013, kemungkinan besar karena pengaruh gabungan dari penurunan harga komoditas dan kebijakan sektor pemerintah dan swasta baru.
Studi itu tidak memperhitungkan emisi kebakaran terakhir yang melanda jutaan hektar di Indonesia tahun ini, yang mengakibatkan krisis kesehatan masyarakat terburuk sejak tsunami 2004, dan menambahkan gas rumah kaca lebih ke atmosfer daripada satu tahun jumlah emisi Jepang. Namun studi juga mencatat kemungkinan kemajuan nyata respon pemerintah Indonesia terhadap kebakaran itu.
"Awal tahun ini, Presiden Indonesia memperpanjang moratorium izin baru di lahan gambut dan hutan primer untuk mengurangi deforestasi, dan baru-baru ini menyerukan untuk segera menghentikan penggarapan baru lahan gambut sambil meninjau kembali keluarnya izin lahan gambut," kata co-author studi Belinda A . Margono, spesialis dan analis deforestasi jarak jauh. "Pemerintah berencana untuk menerapkan upaya restorasi lahan gambut dalam upaya memastikan agar bencana kebakaran tahun ini tidak terulang pada masa depan."
Indonesia juga termasuk salah satu dari 15 negara tropis yang menandatangani New York Declaration on Forests (NYDF) tahun lalu, termasuk target mengurangi separuh hilangnya hutan alam pada 2020. Selain tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai pengurangan itu, emisi karbon 14 negara lainnya secara kolektif hampir dua kali lipat dari deforestasi tropis, dari 12 persen keseluruhan pada 2001 menjadi 23 persen pada 2013. Dari 14 negara tersebut, kontributor terbesar adalah Republik Demokratik Kongo dan Peru; Vietnam dan Liberia juga mengalami peningkatan yang signifikan. Hanya Meksiko turun signifikan. Studi itu juga melaporkan kenaikan serupa dalam deforestasi oleh kelompok negara tropis yang lebih besar dan tidak menandatangani Deklarasi.
Menetapkan Standar
Studi ini menetapkan benchmark "pantropical" untuk emisi karbon tahunan dari deforestasi tropis rata-rata antara 2001 dan 2013: 2.270 gigaton karbon, lebih dari emisi ekonomi India 2013. Mengurangi separuh emisi ini pada 2020 mewajibkan pengurangan hingga 1,135 gigaton per tahun.
Studi ini mengajukan dua skenario ilustratif untuk mencapai pengurangan itu:
1. Brasil mempertahankan levelnya pada 2012, negara-negara penandatangan NYDF mengurangi emisi deforestasinya separuh dan sisanya 86 negara-negara hutan tropis mengurangi emisi kolektifnya sebesar 35 persen.
2. Brasil mengurangi emisi deforestasi bruto lebih tinggi lagi daripada level pada 2012 melalui berbagai tindakan yang layak, negara-ngara NYDF mengurangi separuh emisi deforestasi dan sisanya 86 negara hutan tropis mengurangi emisinya sebesar empat persen.
"Skenario pertama jauh lebih sulit bagi kebanyakan negara termiskin di dunia untuk mencapainya," kata Tasso Azevedo. "Skenario kedua sangat masuk akal bagi Brasil. Kita perlu mencapai keberhasilan dekade terakhir dan benar-benar memanfaatkan potensi besar untuk mengintensifkan produksi pertanian di lahan yang telah dibuka daripada menebang hutan. Ilmuwan Brasil tahu bagaimana melakukan ini. "
Laporan itu mengakui bahwa mengurangi separuh emisi deforestasi tropis bruto dalam lima tahun merupakan tantangan besar. "Kegagalan pasar dan kegagalan tata kelola adalah masalah," kata Zarin. "Hutan ditebang karena orang meraup untung dari menjual kayu, atau ternak atau panen dari tanaman yang ditanam di lahan gundul, atau dari spekulasi pasar penjualan tanah yang minim aturan. Tapi kerugian yang sangat nyata yang ditimbulkan oleh deforestasi tidak diperhitungkan dalam keuntungan itu, dan itu tidak hanya emisi karbon. "
"Daerah pertanian dan pusat-pusat perkotaan kehilangan manfaat yang diberikan hutan ke siklus hidrologi. Hilangnya keanekaragaman hayati sendiri tak ternilai harganya. Kita biasanya mengkonsumsi produk dengan bahan-bahan yang ditanam di tanah yang jauh di mana masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya terusir baru-baru ini-atau yang lebih buruk- membuka jalan untuk gergaji dan buldoser yang mengubah hutan menjadi ladang monokultural yang luas untuk membuat komoditas. Ini kejahatan yang mana kita semua terlibat. "
Dia menambahkan bahwa mengurangi deforestasi kotor akan memberi manfaat publik pada tingkat lokal, nasional dan global. "Sangat masuk akal bagi masyarakat internasional untuk mendukung negara-negara hutan yang menunjukkan kepemimpinan nyata. Banyak negara dan perusahaan sepakat untuk mengurangi separuh deforestasi hingga 2020, dan untuk menghilangkan deforestasi dari produksi komoditas. Sekarang kita memiliki benchmark di mana kemajuan dapat diukur. Selalu ada alasan untuk tidak bertindak, tetapi alasan waktu sudah habis."
Studi baru menemukan pengurangan besar dari Brasil sebagian diimbangi oleh peningkatan di negara-negara hutan tropis lainnya. Mencapai target 50 persen pengurangan deforestasi pada 2020 tetap mungkin, tetapi sulit.(rls/ypb/bh/sya) |