JAKARTA, Berita HUKUM - Maraknya pelanggaran hak normatif terhadap pekerja semakin menunjukan buruknya system penerapan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Hal tersebut juga dipicu dengan munculnya berbagai praktek pelanggaran di dunia industry dalam memperlakukan pekerjanya, seperti praktek pekerja rumahan.
Dalam fakta lapangan yang ditemukan di 6 (enam) provinsi di Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, banten dan Sumatera Utara, kurang lebih sebanyak 4.645 pekerja rumahan yang sudah terorganisir, dan masih ada puluhan ribu diluar sana pekerja rumahan yang belum terorganisir dan belum terindentifikasi dengan mayoritas perempuan. Dengan kondisi kerja bahwa, pekerja rumahan melakukan pekerjaannya dirumahnya atau ditempat yang mereka sepakati diluar dari perusahaan atau pemberi kerja.
Dari hal tersebut terlihat adanya fleksibilitas jenis pekerjaan para pekerja rumahan yang tidak terikat waktu, tidak ada pengawasan secara langsung, dan upah dihitung dari banyaknya produk yang dihasilkan. Namun dibalik itu, ada kenyataan bahwa pekerja rumahan mengalami situasi yang sangat eksploitatif, bekerja selama berjam-jam dan mendapatkan upah yang jauh dibawah upah minimum, dalam sebuah system dimana mereka tidak memiliki daya tawar dan tanpa kepastian kerja.
Namu secara tegas kami katakana bahwa, pekerja rumahan adalah pekerja. Fakta tersebut dibuktikan dengan terpenuhinya unsure yang termaktub dalam Pasal 1 (ayat 3) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), menyebutkan bahwa, “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan yang baru ini, memang tidak disebutkan pekerja formal maupun informal, akan tetapi kata “setiap orang’ tentu berlaku juga bagi tenaga kerja baik formal maupun informal dan laki-laki maupun perempuan.
Jadi seharusnya UU No.13 tahun 2003 juga berlaku bagi pekerja rumahan. Diperkuat juga dalam pasal 1 (ayat 15) UUK, yang berbunyi, hubungan kerja adalah hubungan pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsure pekerjaan, upah dan perintah.
Dengan melihat unsure hubungan kerja, pada kasus pekerja rumahan, dapat dijelaskan sebagai berikut, telah ada perjanjian/kesepakatan antara pekerja rumahan dengan pengusaha/pemberi kerja, terbukti dari adanya kesepakatan untuk melakukan pekerjaan walau secara lisan, lalu adanya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja rumahan sebagai bagian proses produksi, adanya upah yang diterima yang dihitung berdasarkan hasil produksi, dan adanya perintah yang diberikan kepada pekerja rumahan untuk menyelesaikan satu proses produksi sesuai permintaan pemberi kerja. Maka berdasarkan penjelasan tersebut, jelas terbukti bahwa pekerja rumahan juga sama seperti pekerja yang dijelaskan dalam UUK.
Forum Mitra ILO MAMPU yang terdiri serikat pekerja/serikat buruh Garteks SBSI, FSP TSK SPSI Rekonsiliasi, FSP TSK KSPSI Kongres Jakarta, Kamiparho SBSI, FSP RTMM SPSI Rekonsiliasi dan Oragnisasi Non Pemerintah meliputi TURC, Bitra Indonesia, yasanti, MWPRI memberikan dukungan kepada pekerja rumahan dalam memperjuangkan haknya sebagaimana yang diatur dalam UUK.
Pekerja rumahan adalah pekerja, bukan ajang target eksploitasi para pengusaha pencari untung yang berusaha menekan biaya produksi dengan meleparkan sebagian proses produksi pada pekerjaan rumahan tanpa memberikan kelayakan kerja. Untuk itu kami menuntut kepada pihak pemerintah untuk : meratifikasi konvensi ILO No.177 tentang Pekerja Rumahan. Mengeluarkan kebijakan yang bisa melindungi pekerja rumahan. Menginstrusikan kepada seluruh stakeholder ketenagakerjaan (pemerinatah dan pelaku usaha) untuk memperlakukan pekerja rumahan secara layak.(bh/rat)
|