JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Implementasi dari pelaksaan otonomi khusus (otsus) jauh dari yang diharapkan. Bahkan, kerap menimbulkan berbagai masalah. Untuk itu, diperlukan pengawasan serta arahan atau supervisi dari pemerintah pusat. Demikian dikatakan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman di Jakarta, Sabtu (17/12).
Menurut dia, justru pelaksanaan otsus menimbulkan banyak masalah. Satu di antaranya dapat dilihat dari banyaknya kebijakan daerah yang menyimpang dari ketentuan yang digariskan pemerintah pusat serta UU mengenai perimbangan keuangan, wewennag daln lainnya. “Atas hal ini diperlukan supervisi dari pemerintah pusat dalam pengimplementasian ostus tersebut," jelas dia.
Meski demikian, imbuh dia, DPD mendorong pelaksanaan otsus tersebut dengan melakukan komunikasi ke daerah-daerah dalam pelaksanaan hal tersebut. "Kami juga melakukan komunikasi ke masyarakat, sebab dalam operasional pelaksanaannya ternyata tidak terlaksana. Hal ini berujung kepada kesejahteraan masyarakat juga," papar Irman.
Sementara itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie menyatakan bahwa otsus yang telah dilaksanakan lebih dari satu dasawarsa, ternyata terus menimbulkan sejumlah masalah. Ini dimulai dari isu hierarki, perimbangan keuangan, serta pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
“Dalam hubungan hierarki misalnya, daerah terhadap pusat bersifat subordinatif. Daerah otonom adalah ciptaan pusat dan bisa dihapuskan. Namun, pada kenyataanya, pemerintah dianggap tidak punya hubungan subordinatif, karena kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat," katanya.
Massalah lain yang tak kalah penting adalah, lanjut Marzuki, hubungan keuangan pusat dan daerah. Bagi pusat, sumber-sumber kekayaan yang ada di daerah milik nasional, tidak bisa hanya digunakan untuk kepentingan daerah yang bersangkutan. Tapi kekayaan itu memang harus dibagikan kepada daerah lain.
"Pada kenyataannya, mereka lebih mengutamakan kepentingan daerah. Hal ini dilakukan para kepala daerah yang dipilih langsung dan merasa harus bertanggung jawab memenuhi janjinya saat kampanye pemilu kepala daerah. Makanya, kerap terjadi tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah terkait keuangan," kata Marzuki.
Anggota Fraksi Partai Demokrat ini juga menyoroti maraknya pemekaran daerah pada era otonomi daerah. "Konsep pemekaran itu bagus jika daerah punya sumber daya yang besar. Tapi, karena kurangnya telaah dalam memekarkan daerah, hasilnya ada daerah yang makmur dan ada daerah yang miskin," imbuh dia.
Atas pertimbangan ini, DPR mendorong diberlakukannya moratorium sejak beberapa tahun lalu. Pasalnya, dampak otsus bagi 200 kabupeten/kota memunculkan masalah keuangan. Sebelum otsus diberlakukan, APBN hanya sekitar Rp 300-400 triliun, tapi sejak otsus APBN menjadi Rp 1.300 triliun. “Dana tersebut sebagian besar terserap untuk pemekaran daerah, karena perlu kantor dan biaya birokrasi lainnya,” tandas Marzuki.(dbs/rob)
|