JAKARTA, Berita HUKUM - Dalam rangka melaksanakan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Desember 2013 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
PP ini menjelaskan, sumber aset Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJS) Kesehatan terdiri atas: a. Modal awal Pemerintah yang merupakan kekayaan negara yang dipidahkan dan tidah terbagi; b. Hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan (PT ASKES); c. Hasil pengembangan aset BPJS Kesehatan; d. Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial Kesehatan; dan e. Sumber lain yang sah.
Adapun sumber aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan terdiri atas: a. Iuran Jaminan Kesehatan termasuk bantuan iuran; b. Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan; c. Aset program Jaminan Kesehatan yang menjadi hak peserta dari BUMN yang menjalankan program Jaminan Kesehatan (PT ASKES dan PT Jamsostek) berupa uang tunai, surat berharga, piutan iuran, dan uang muka pelayanan kesehatan; dan d. Sumber lain yang sah, yaitu surplus aset Dana Jaminan Sosial Keshetan, surplus aset BPJS Kesehatan, dana talangan BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat, dan/atau hiba dan/atau bantuan lain.
Instrumen Investasi
Mengenai pengembangan aset BPJS Kesehatan, Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 ini menegaskan, hanya dapat dilakukan dalam bentuk investasi yang dikembangkan melalui penempatannya pada instrumen investasi dalam negeri.
Adapun instrumen investasi dalam negeri yang bisa digunakan untuk pengembangan aset BPJS Kesehatan adalah: a. Deposito berjangka termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. Surat berharga yang diterbitkan Negara Republik Indonesia; c. Surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia; d. Surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualberlikan secara luas dalam Bursa Efek Indonesia (BEI); e. Saham yang tercatat dalam BEI; f. Reksadana; g. efek beragun aset yang berdasarkan kontrak investasi kolektif; h. Dana investasi real estate; i. Penyertaan langsung; dan/atau j. Tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan.
Dalam investasi berupa surat utang korporasi yang tercatat dan diperjualbelikan secara luas dalam BEI, menurut Pasal 24 ayat (1) PP ini, harus paling kurang memiliki peringkat A- atau yang setara dari perusahaan pemerinkat efek. Adapun untuk investasi dalam bentuk reksadana, harus merupakan produk yang telah terdaftar pada lembaga pengawas di bidang pasar modal.
Untuk pengembangan investasi dalam bentuk penyertaan langsung, menurut PP ini, hanya dapat dilakukan pada badan usaha yang bergerak di bidang yang mendukung pelaksanaan tugas BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan program jaminan sosial; tidak berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dalam melakukan kerjasama; dan tidak bergerak di bidang usaha yang permodalannya diatur secara ketat sehingga berpotensi menimbulkan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan permodalan secara berkelanjutan.
“Untuk investasi aset BPJS Kesehatan dalam berupa tanah, bangunan, atau tanah dengan bangunan, harus memenuhi ketentuan: a. Dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama BPJS Kesesehatan; b. Memberikan penghasilan ke BPJS Kesehatan; dan c. Tidak ditempatkan pada tanah, bangunan , atau tanah dengan bangunan yang sedang diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain,” bunyi Pasal 24 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 ini.
PP ini juga membatas persentase jumlah investasi pengembangan aset BPJS Kesehatan yang diperkenankan. Untuk investasi berupa deposito berjangka, paling tinggi 5% dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% dari jumlah investasi. Adapun investasi berupa surat utang korporasi paling tinggi 5% dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% dari jumlah investasi.
“Investasi berupa saham yang tercatat dalam BEI, untuk setiap emiten paling tinggi 5% dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% dari jumlah investasi,” bunyi Pasal 25 ayat (1) poin c PP. No. 87/2013.
Adapun investasi berupa reksadana, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 15% dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50%. Untuk investasi berupa dana investasi real estate, untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 10% dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% dari jumlah investasi.
Untuk investasi berupa penyertaan langsung untuk setiap pihak tidak melebihi 1% dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 5% dari jumlah investasi; dan investasi berupa tanah, bangunan atau tanah dengan bangunan seluruhnya paling tinggi 5% dari jumlah investasi.
PP ini tegas melarang BPJS Kesehatan melakukan investasi pada perusahaan yang sahamnya dimiliki anggota direksi, dewan pengawas, pegawai BPJS Kesehatan, pegawai lembaga pengawas BPJS, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), atau pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat ketiga dengan anggota direksi, dewan pengawas, DJSN, pegawai BPJS, dan pegawai lembaga pengawas BPJS.
Selain itu, BPJS Kesehatan dilarang melakukan transaksi derivatif atau memiliki instrumen derivatif untuk aset BPJS Kesehatan, kecuali efek beragun aset dan turunan surat berharga yang tercatat di bursa efek di Indonesia. BPJS Kesehatan juga dilarang melakukan investasi berupa saham dan surat utang korporasi yang emitennya merupakan badan hukum asing.(pdt/es/skb/bhc/rby) |