Oleh : Rizal Ramli
HARGA - Bahan kebutuhan pokok makin tidak terkendali. Penguasaan impor produk pangan oleh segelintir pengusaha besar tertentu telah menimbulkan sistem kartel yang sangat merugikan rakyat Indonesia.
Akibatnya, rakyat Indonesia harus membayar bahan kebutuhan pokok 100% lebih mahal ketimbang harga di pasar internasional. Kalau saja praktik kartel dihapuskan, maka harga bahan pangan yang belakangan ini sangat liar bisa dicegah sejak awal.
“Sistem kartel yang diawali dengan penerapan sistem kuota impor produk pangan telah menimbulkan inefisiensi luar biasa.
Sayangnya pemerintah kurang all out dan kurang tajam melihat masalah. Seolah-olah kartel ini bukan masalah yang membebani rakyat,” ujar Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARUP), Rizal Ramli kepada wartawan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sejak sekitar setengah tahun silam, sebetulnya ikon perubahan nasional ini sudah mengingatkan akan terjadinya gejolak harga bahan pangan di dalam negeri yang tidak terkendali.
Dalam pengamatannya, lonjakan harga itu bukan semata-mata karena harga di pasar internasional yang tinggi, melainkan karena diterapkannya sistem kuota impor dan maraknya praktik kartel atas sejumlah komoditas pangan.
Itulah sebabnya Rizal Ramli yang juga Menko Perekonomian era Gus Dur ini melakukan safari, bertemu dengan sejumlah pejabat terkait masalah pangan. Dia menemui Kepala Bulog Soetarto Alimoeso dan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan.
Sebelumnya capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) ini juga sudah bertemu Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi.
“Dua bulan lalu saya dan tim ketemu pak Soetarto, Dirut Perum Bulog. Kami berdiskusi tentang harga pangan yang makin lama makin tidak terkendali.
Selisih antara harga internasional dan harga dalam negeri sudah 100% lebih. Waktu itu kami sarankan agar Bulog diberi peran yang lebih besar dalam melakukan stabilisasi harga pangan.
Jadi tidak hanya menyangkut soal, beras tetapi juga menyangkut soal daging, kedelai, gula dan sebagainya,” ungkap Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) era Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Sebagai follow up, dua minggu kemudian Rizal Ramli juga bertemu Gita Wiryawan. Saat itu dia minta supaya Mendag harus lebih proaktif agar pasar pangan di Indonesia ini tidak dikontrol para kartel. Gula, misalnya, pemainnya hanya ada delapan importir. Kalau di antara mereka sendiri terjadi persaingan, harga gula otomatis akan turun.
Tapi mereka membentuk sindikat kartel, sehingga dalam praktiknya mereka itu bertindak sebagai satu kesatuan. Mereka inilah yang mendikte harga seenak-enaknya sendiri.
Dua setengah bulan yang lalu, Sebelum bertemu Soetarto dan Gita, capres alternatif versi The President ini sudah menemui Nawir Messi. Rizal Ramli minta agar KPPU melakukan penyelidikan terhadap praktik kartel-kartel itu yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Pada prinsipnya, dia mendesak agar seluruh sistem kartel dihapuskan.
“Kami mendesak pemerintah menghapuskan sistem kuota impor yang jadi cikal bakal kartel dan menggantinya dengan sistem tarif. Silakan saja siapa pun mengimpor barang, tapi harus membayar tarif yang besarnya dihitung dengan hati-hati.
Kalau itu dilakukan, otomatis harga gula akan anjlok setengahnya, harga daging yang telah menembus Rp100.000 akan anjlok ke harga Rp50.000-Rp60.000 per kg, dan seterusnya. Sayangnya pemerintah kurang all out dan bekerja sangat lamban.
Bahkan ketika harga-harga makin tidak tekendali seperti sekarang pun, pemerintah hanya sibuk rapat dan rapat. Akibatnya, rakyat semakin menderita akibat harga-harga yang melonjak sangat tinggi,” paparnya.
Rizal Ramli yang sudah jadi aktivis sejak mahasiswa mengaku sedih melihat pemerintah yang tidak dapat melihat apa sebenarnya pokok masalahnya. Pada saat yang sama, dia juga geram karena pemerintah tidak memiliki keberanian untuk menghapus sistem kartel.
Baru setelah masalahnya makin tidak terkendali, Bulog diberi peran yang lebih luas untuk stabilisasi.
Menurut dia, pemberian peran stabilisasi harga komoditas pangan lain di luar beras kepada Bulog hanyalah solusi jangka pendek.
Yang paling penting tentu harus ada kebijakan strategis pada tanaman pangan. Itu hanya bisa jika ada aturan dan rumusan jelas untuk rasio antara gabah dan harga pupuk.
Dulu zaman pak Harto, rasionya selalu dijaga harga gabah tiga kali, harga pupuk dua kali. Jadi selalu ada keuntungan buat petani 50%. Tapi sekarang harga pupuk sering lebih tinggi daripada harga gabah, jadi tidak masuk kalukulasinya.
“Secara prinsip harus selalu ada kebijakan harga atau pricing policy sehingga harga gabah selalu lebih tinggi daripada harga pupuk. Dengan begitu petani bisa menikmati keuntungan 60-70%. Petani jadi bersemangat untuk menanam padi atau produk pangan yang lain,” tukas Rizal Ramli. (*) |