JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang lanjutan uji materiil aturan mengenai sanksi pidana terhadap penghinaan lambang negara sebagaimana termuat dalam Pasal 237 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kedua Perkara Nomor 36/PUUXXI/2023 yang diujikan oleh Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung digelar pada Rabu (10/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Selain menguji Pasal 237 huruf c KUHP, para Pemohon juga menguji Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 256 KUHP.
Dalam sidang dengan agenda perbaikan yang digelar pada Rabu (10/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK, Leonardo yang hadir langsung menyampaikan sejumlah perbaikan. Perbaikan tersebut diantaranya perubahan argumentasi dengan memasukkan subjudul, yaitu MK pernah membatalkan suatu undang-undang yang memiliki masa tunggu berlaku. Kemudian, sambung Leonardo, pihaknya memasukkan beberapa pasal yang diperbaharui yakni Pasal 256 dan Pasal 100 KUHP.
“Di sini kami membuat suatu tabel di halaman 8 dimana disitu, Yang Mulia, lihat bahwa di dalam Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012 dimana disitu adalah pokok perkaranya adalah UU SPPA yang mana waktu itu sebenarnya UU SPPA itu bisa dikatakan belum berlaku atau masa tunggunya 2 tahun. Tetapi kemudian Yang Mulia menyatakan bahwa UU SPPA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Leonardo di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut.
Sebelumnya, Para pemohon, Pasal 237 huruf c KUHP serupa dengan Pasal 57 huruf d KUHP yang pernah dibatalkan MK. Ia menilai dengan memasukkan kembali pasal tersebut, Pemerintah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK Nomor 4/PUU-X/2012
Pemohon mendalilkan tidak ada pembedaan serupa sama sekali tetapi yang menjadi ironis Pasal 57 itu yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 entah kenapa diberlakukan kembali dan dimasukkan kembali kedalam KUHP yang tertuang dalam Pasal 237. Artinya, bahwa di sini sudah menandakan Pemerintah tidak mematuhi putusan MK atau dalam bahasa kasarnya putusan MK ini hanya dianggap formalitas aja, sehingga Pemerintah tidak melaksanakan putusan MK ini yang sudah ada tertera Putusan Nomor 4/PUU-X/2012. Ini menjadi sangat ironis pemerintah tidak mengakui atau melaksanakan putusan Mk tersebut dan dituangkan kembali ke KUHP.
Dalam permohonannya, para Pemohon juga mempersoalkan mengenai sanksi pidana bagi orang yang hendak melakukan unjuk rasa maupun demonstrasi tanpa adanya izin sebagaimana tercantum dalam Pasal 256 KUHP. Pemohon beranggapan pasal tersebut menimbulkan kerugian potensial dan dalam hal mengancam kebebasan berpendapat seperti termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 100, Pasal 237 huruf C dan Pasal 256 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.(MK/bh/sya) |