JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materiil Peraturan Pengganti Pemerintah No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) pada Senin (28/8) siang. Sidang yang mengagendakan perbaikan permohonan tersebut dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dalam sidang tersebut, Kuasa hukum para Pemohon Hendarsam Marantoko, menjelaskan mengenai perbaikan terutama dalam pokok permohonan. Ia menyebut ada uraian lebih rinci dan tegas dalam pokok permohonan. Menurut para Pemohon, adanya ketentuan Perppu Ormas yang sedang diuji dalam perkara a quo, dapat menghambat para Pemohon dalam memilih atau bergabung dalam organisasi kemasyarakatan. Kemudian, berpotensi menghalangi kebebasan berserikat dan berkumpul dalam ormas yang diikuti oleh para Pemohon.
"Karena perppu a quo telah menghapus ketentuan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Akibat dari penghapusan Pasal 68 Undang-Undang a quo, maka peran dan fungsi pengadilan untuk secara objektif memastikan seluruh proses penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai atau belum dengan ketentuan hukum, menjadi hilang atau setidaknya berkurang secara sangat signifikan," papar Hendarsam.
Sebagai akibat lanjutan, sambung Hendarsam, Pemerintah akan sangat mudah memberikan sanksi pencabutan badan hukum kepada ormas apapun. Meski hanya berdasarkan alasan-alasan subjektif kesukaan, termasuk organisasi para Pemohon, yaitu Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) yang kerap berbeda pendapat dengan Pemerintah.
"Perppu a quo memang tidak secara eksplisit melarang warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Namun perlu digarisbawahi bahwa bagian penting dari kemerdekaan berserikat adalah kemerdekaan memilih dan bergabung dengan organisasi mana yang disukai," tegas Hendarsam.
Lebih lanjut, Hendarsam mengatakan para Pemohon bergabung dengan ACTA karena sepakat dengan perjuangan ACTA. Para Pemohon menilai ACTA memiliki tujuan sangat mulia, yaitu menegakkan kebenaran dan melawan ketidakbenaran di bidang hukum.
"Dengan demikian, jelaslah Perppu Ormas berpotensi menghalangi para Pemohon untuk memperoleh hak konstitusionalnya yaitu tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," tandas Hendarsam.
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, Perkara No. 52/PUU-XV/2017 diuji oleh Herdiansyah dan Ali Hakim Lubis yang berprofesi sebagai advokat dari ACTA. Pemohon menyampaikan sejumlah dalil permohonan, di antaranya tidak terdapat kondisi mendesak atau hal ihwal kegentingan yang memaksa atas kondisi Indonesia saat ini sehingga pemerintah harus membuat suatu Perppu. Selain itu, para Pemohon menilai Perppu Ormas bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 juncto Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa para Pemohon berpotensi kehilangan hak konstitusionalnya karena kemerdekaan berserikat dan berkumpul menjadi dibatasi secara sewenang-wenang.
Para Pemohon menilai Perppu Ormas telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Ketidakadilan bisa berupa potensi hilangnya kesempatan para Pemohon bila ingin bergabung dalam organisasi kemasyarakatan. Namun Pemerintah tidak berkenan terhadap organisasi kemasyarakatan tersebut, yang dapat saja secara sewenang-wenang pemerintah menetapkan pembubarannya sehingga berakibat hukum hilangnya hak untuk secara adil mendapatkan kesempatan yang sama dalam bergabung suatu organisasi kemasyarakatan.(NanoTresnaArfana/LA/MK/bh/sya) |