JAKARTA, Berita HUKUM - Joko Soegiarto Tjandra, terpidana dua tahun penjara yang selama 11 tahun ini menjadi buron Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya kembali ke Indonesia. Pasalnya, Dia bersama kuasa hukumnya dari law firm Anita Kolopaking and Partners (AKP), telah mengajukan PK (Peninjauan Kembali) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) pada Senin, 8 Juni 2020 lalu.
Berdasarkan hal itu, salah seorang kuasa hukumnya Andi Putra Kusuma mengakui bahwa dirinya telah bertemu buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar ini. Pertemuan tersebut berlangsung pada saat kami menandatangani surat kuasa, dan mengajukan PK di PN Jaksel itu.
"Surat kuasa dari Joko Tjandra diberikan kepada kami dari AKP pada 8 Juni 2020 itu, bersamaan dengan pengajuan permohonan PK di PN Jakarta Selatan. Yang mana permohonan PK itu diajukan sendiri oleh Joko Tjandra," ujar Andi kepada pewarta BeritaHUKUM.com di kantornya, Rabu (1/7).
Andi menjelaskan bahwa kliennya Joko S Tjandra mengajukan permohonan PK terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) No. 12.PK/PID.SUS/2009 tanggal 11 Juni 2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 yang bertentangan khususnya terhadap penerapan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
"Kami mengajukan PK itu dasarnya karena adanya pertentangan dan beda penafsiran dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP. Didalam pasal 263 ayat (1) itu sebenarnya sudah dibatasi, bahwa yang berhak mengajukan PK itu hanya terpidana atau ahli warisnya saja. Tapi kenapa Jaksa bisa mengajukan PK dengan No. 12 PK/Pidsus/2009 tertanggal 12 Juni 2009 itu," jelasnya.
Ketika ditanya mengenai putusan pengadilan, Andi mengatakan bahwa dalam putusan tingkat pertama di PN Jaksel kliennya dibebaskan, dan selanjutnya jaksa melakukan Kasasi. Nah, dalam putusan kasasi di Mahkamah Agung, kliennya Joko Tjandra juga dibebaskan. Kendati demikian, setelah berjalannya waktu hingga delapan tahun kemudian, Jaksa melakukan PK dengan No.12 itu.
"Hal itulah yang menimbulkan pertanyaan bagi kami, apa dasarnya Jaksa mengajukan PK tersebut," ucap Andi bertanya-tanya seraya mengatakan bahwa kewenangan untuk mengajukan PK berdasarkan pasal 263 ayat (1), hanya terbatas, diberikan kepada terpidana ataupun ahli warisnya. Tidak boleh pihak lain untuk mengajukan PK tersebut.
"Memang benar alasan dari pihak Jaksa yang saya baca, bahwa dasar untuk mengajukan PK itu bukan hanya diatur dalam pasal 263. Ada UU lain, seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA pasal 66 yang mengatur mengenai pengajuan PK. Tapi perlu dipahami bahwa UU itu mengatur mengenai PK secara umum. Artinya PK itukan ada banyak, ada PK Pidana, perdata, agama, Tata Usaha dan lainnya," imbuhnya.
Menurut Andi UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA tersebut mengatur secara umum. Tapi di Indonesia ini menganut asas Lex specialis derogat legi generali. Artinya kalaupun banyak undang-undang, tapi kalau mengenai hal itu sudah diatur dalam UU yang bersifat khusus (lex specialis), maka UU itu yang berlaku.
"Nah, didalam perkara pidana, sudah ada yang mengatur mengenai siapa yang berhak mengajukan PK, khusus untuk Pidana. Artinya berdasarkan asas Lex specialis, tidak boleh lagi memakai UU yang lain, harus UU Acara pidana, KUHAP itu, yaitu terpidana dan ahli warisnya," kata Andy seraya mengatakan, berdasarkan pasal 263 ayat (1) ini, jaksa tidak boleh mengajukan PK, tandasnya.
"Itulah yang kita sampaikan dalam permohonan PK tersebut. Karena hukum ini sudah diterobos oleh jaksa, dan itu yang menjadi dasar kami dalam mengajukan PK," pungkasnya.
Sementara, dalam putusan PK di MA kala itu, Joko Tjandra dihukum 2 tahun penjara serta membayar denda Rp15 juta. Tidak hanya itu, MA juga memerintahkan uangnya Rp.546 miliar di Bank Bali, dirampas untuk negara. Namun, sebelum putusan itu dibacakan, Joko dikabarkan sudah kabur ke luar negeri.(bh/ams) |