JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia menggelar uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara 59, 62, 70, 71, 73, 77, 79/PUU-XVII/2019 pada Rabu (4/3/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan para Ahli Pemohon.
Penasehat KPK periode 2005-2013 Abdullah Hehamahua yang menjadi Ahli Pemohon Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 mengatakan, korupsi disebut sebagai kejahatan luar biasa karena pembuktiannya sangat sukar. "Dampak korupsi sangat luas, mulai dari negara, organisasi, parpol, pemerintahan sampai keluarga. Oleh karena itu, organisasi yang bertujuan memberantas korupsi harus luar biasa dan undang-undangnya juga luar biasa. Sehingga saksinya juga harus luar biasa," kata Abdullah kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Dengan demikian, sambung Abdullah, orang-orang yang tergabung dalam organisasi pemberantasan korupsi harus luar biasa mulai dari pimpinan sampai pegawainya. Oleh karena itulah sejak merdeka sampai Indonesia merdeka, pembentukan organisasi pemberantasan korupsi berganti-ganti.
Abdullah mengungkapkan, lembaga KPK tidak hanya membangun sistem tapi juga manusianya. Sistem mencakup antara lain kode etik, SOP, peraturan kepegawaian. Mereka yang bekerja di KPK, dari pejabat sampai pegawai biasa tidak bisa menuliskan laporan harian semaunya sendiri tapi ada aturannya. Oleh karena itu, adanya dewan pengawas di luar SOP, peraturan kepegawaian dan kode etik KPK, hal ini berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan dan kesempatan. "Sehingga masyarakat akan menuntut adanya pengawas terhadap dewan pengawas," tegas Abdullah.
Korupsi Merusak Indoneisa
Sementara itu, Pemohon Perkara 79/PUU-XVII/2019 menghadirkan pakar filsafat politik, Bernardinus Herry Priyono menjelaskan mengenai konsep korupsi. "Sesuatu yang tertata adalah hal yang tidak korup. Sebaliknya, sesuatu yang tidak tertata dan kacau adalah korup. Setiap ajaran agama dan peradaban masyarakat mana pun punya gagasan mengenai tatanan yang baik. Sejauh itu juga punya gagasan tentang korupsi," ungkap Bernardinus.
Menurut Bernardinus, apa saja yang merusak tatanan, dalam hal ini negara Indonesia adalah bertentangan dengan UUD 1945. Korupsi adalah salah satu yang dipandang sebagai perusak Indonesia. "Tidak ada tatanan dan kondisi hidup yang baik tanpa institusi yang baik," tandas Bernardinus.
Selanjutnya hadir pakar hukum tata negara, Susi Dwi Harijanti menyampaikan bahwa perkara-perkara konstitusional umumnya dikualifikasi sebagai hard cases.
"Hal ini disebabkan adanya pertaruhan-pertaruhan antara lain sejauhmana makna putusan MK benar-benar mencerminkan dan menjamin UUD 1945 sebagai supremasi hukum tertinggi dalam negara. Selain itu sejauhmana MK sebagai penjaga UUD 1945 dapat menjaga dan mewujudkan UUD tersebut sebagai the living constitution," kata Susi yang juga dihadirkan oleh Pemohon Perkara 79/PUU-XVII/2019.
Dengan demikian, menurut Susi, batu uji yang dapat digunakan dalam perkara-perkara semacam ini tidak dapat lagi semata-mata disandarkan pada norma peraturan perundang-undangan, melainkan termasuk juga asas-asas hukum, baik asas-asas hukum umum maupun asas-asas hukum khusus serta asas-asas lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Sebagaimana diketahui, Perkara Nomor 59/PUU-XVI/2019 dimohonkan oleh 25 orang advokat yang menguji formil dan materil UU KPK. Para Pemohon berpendapat, perubahan UU KPK tidak sesuai dengan upaya pembersihan korupsi dalam penyelenggaraan bernegara. Proses pengesahan perubahan Undang-Undang KPK tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena dalam rapat paripurna tersebut jumlah anggota DPR yang hadir berjumlah 80 orang atau setidak-tidaknya kurang dari setengah dari jumlah anggota DPR secara keseluruhan. Perubahan UU KPK sebagaimana diketahui para Pemohon dan masyarakat luas dilakukan secara tersembunyi dan dibahas dalam rapat-rapat di DPR dalam kurun waktu yang relatif singkat. Hal tersebut berarti pembentukan undang-undang tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan.
Selanjutnya Gregorius Yonathan Deowikaputra, Pemohon Perkara 62/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK. Menurut Pemohon, pembentukan UU Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana dilansir berbagai media, dapat dikatakan telah dilakukan dengan tertutup dan sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan masyarakat luas. Masyarakat sulit mengakses risalah rapat di website resmi DPR, demikian juga Pemohon mengalami hal yang sama. Menurut Pemohon, Perubahan Kedua UU KPK tidak dilandasi asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" serta "keterbukaan" yang merupakan asas-asas wajib yang harus diterapkan oleh DPR dalam melakukan pembentukan suatu undang-undang.
Sedangkan Fathul Wahid dkk. selaku Pemohon Perkara 70/PUU-XVII/2019 melakukan pengujian sejumlah pasal dalam UU KPK, antara lain Pasal 1 angka dan Pasal 3. Para Pemohon mendalilkan adanya cacat proses pembentukan UU KPK dikaitkan dengan UU No. 12/2011 sebelum perubahan, karena UU No. 15/2019 tentang Perubahan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baru disahkan pada 2 Oktober 2019 dan diundangkan pada 4 Oktober 2019 dalam Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 183. Sementara proses pembentukan UU KPK berakhir pada 17 September 2019.
Sementara Perkara 71/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dkk. menguji antara lain Pasal 6 huruf e dan Pasal 12 ayat (1) UU KPK. Menurut para Pemohon, eksistensi Dewan Pengawas KPK merupakan suatu paradoks yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Keberadaan Dewan Pengawas yang diatur oleh undang-undang a quo justru menyimpang dari suatu sistem pengawasan, dan berujung pada pelemahan pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Berikutnya, Ricki Martin Sidauruk dan Gregorianus Agung selaku Pemohon Perkara 73/PUU-XVII/2019 menguji Pasal 43 ayat (1) UU KPK. Persyaratan menjadi Penyelidik KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK telah memberikan standardisasi yang proporsional yang dapat diperuntukkan bagi khalayak umum tanpa membatasi dengan profesi-profesi tertentu, yang menurut para Pemohon sangat berbentuk diskriminatif. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 43A ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d UU KPK, maka ketentuan pasal yang dimohonkan oleh para Pemohon untuk diuji menjadi tidak relevan untuk diterapkan sepanjang dimaknai "bahwa hanya profesi/instansi-instansi pemerintah" sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo itulah yang mempersyaratkan untuk menjadi seorang Penyelidik KPK. Sehingga hanya orang yang berasal dari profesi/instansi-instansi pemerintah tersebut yang oleh Pimpinan KPK dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Penyelidik KPK.
Kemudian Jovi Andrea Bachtiar dkk untuk Perkara 77/PUU-XVII/2019 melakukan pengujian materiil antara lain Pasal 12B ayat (1), Pasal 12B ayat (2), Pasal 12B ayat (3), Pasal 12B ayat (4), Pasal 12C ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU KPK. Para Pemohon mendalilkan, keberadaan pengaturan terkait kedudukan dan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas dalam Perubahan Kedua UU KPK berpotensi melanggar prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaats) dan prinsip independensi (independent judiciary) pada proses peradilan.
Sedangkan para Pemohon Perkara 79/PUU-XVII/2019 antara lain adalah Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif sebagai petinggi KPK. Para Pemohon berpandangan, pembentuk undang-undang sama sekali tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon berpandangan proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat inilah yang menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh undang-undang a quo tersebut.
Lihat Video Penasihat KPK Sebut Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa :
Klik disini.(NanoTresnaArfana/Raisa/LA/MK/bh/sya)