JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Terpidana kasus pembunuhan berencana Nasrudin Zulkarnaen, Antasari azhar menilai, ada kejanggalan dalam putusan Mahkamah Agung (MA), yang menolak Penijauan Kembali (PK)-nya.
Melalui pengacaranya, Maqdir Ismail, pihak Antasari menjelaskan ada kejanggalan dalam pertimbangan Majelis Hakim di putusan PK halaman 144. “Disitu tertulis bahwa terdapat penyadapan Kapolri, padahal dalam pemeriksaan penyidik dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak pernah terungkap fakta hasil penyadapan yang dilakukan Kapolri,“ tuturnya saat ditemui wartawan di Gedung Komisi Yudisial (KY), Jakarta, Senin (4/6).
Lebih lanjut, Maqdir berpendapat, Mabes Polri tidak pernah menyadap telepon seluler Antasari. Karena institusi Polri tidak mempunyai kewenangan melakukan penyadapan kasus tindak pidana kecuali kasus terorisme.
Maqdir menambahkan, berdasarkan KUHAP, pertimbangan itu bisa membatalkan putusan. Tetapi secara hukum tidak mungkin lagi ada PK di atas PK.
Untuk itulah, pihaknya meminta ke KY untuk mecermati putusan tersebut. "Kami minta putusan ini dicermati, supaya jangan ada putusan yang tidak profesional," imbuh Maqdhir.
Sementara itu pada kesempatan yang terpisah, Juru Bicara MA, Djoko Sarwoko menyatakan, pihaknya mempersilakan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, melaporkan kejanggalan Putusan PK tersebut. "Kita tidak melarang mereka ingin melaporkan hal itu ke KY," katanya saat dihubungi wartawan melalui telpon.
Meski demikian, Djoko mengaku, pihaknya belum mengetahui secara persis materi apa yang dilaporkan Maqdir Ismail selaku pengacara Antasari. "Saya saja baru mengetahui soal ini dari wartawan," ujar Ketua Muda bidang Pidana MA ini.
Seperti diketahui, pada hari senin (13/2/2012) MA menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan terpidana 18 tahun itu.
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Harifin A Tumpa, Komariah E Sapardjaja, Djoko Sarwoko, Hatta Ali, dan Imron Anwari. Menyatakan bahwa bukti yang diajukan Antasari bukanlah bukti yang baru.
Karena dalam permohonan PK nya, Antasari berdalih bahwa, ahli forensik Mun'im Idris menjelaskan, adanya perbedaan hasil visum tertanggal 30/3/2009 berbeda dengan foto TKP. Yaitu uraian hasil visum yang menerangkan adanya jumlah luka tembak berbeda antara foto dengan yang ada dalam kepala korban.
Majelis menilai, hal itu bukanlah bukti baru yang relevan. Karena jumlah tembak tidaklah mempengaruhi pembuktian. Yang diperlukan pembuktian perkara ini adalah adanya akibat yang ditimbulkan oleh pelaku yang menerima perintah dari Antasari.
Menurut MA, bahwa perbedaan jumlah fakta di TKP tidak menghapus pembuktian perintah pembunuhan. Yang terpenting, Antasari memerintahkan pembunuhan dan korban telah meninggal dunia.
Selain itu, MA menilai dalam mengungkap otak pelaku kejahatan, fakta TKP tidak bisa memutus tanggung jawab hukum antara otak pelaku dengan cara kejahatan tersebut bekerja.
Karena hubungan hukum antara meninggalnya korban Nasrudin dengan anjuran sebagaimana didakwakan ke Antasari. Bukan bagaimana cara pembunuhan. Tetapi adalah rangkaian perbuatan dan fakta hukum yang terjadi telah menunjukkan korelasi. Dan adanya tujuan yang tercapai berupa terbunuhnya korban.
Antasari sendiri, divonis 18 tahun penjara karena terbukti memberi perintah pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat hukuman yang dijatuhkan PN Jakarta Selatan itu. Kasasi yang diajukan Mahkamah Agung juga ditolak. (dbs/biz)
|