JAKARTA (BeritaHUKUM.com) - Tujuh tahun telah berlalu, hingga kini agenda penuntasan kasus Munir tidak jelas. Bahkan, seperti hilang dari prioritas kerja pemerintahan SBY. Tepat pada 7 September 2004, aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir dibunuh dengan cara yang teroganisasi.
"Kecaman patut ditujukan ke pemerintahan saat ini karena hilangnya agenda penuntasan kasus Munir dari prioritas kerja pemerintahan SBY," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar dalam rilis yang diterima wartawan di Jakarta, Senin (5/9).
Menurut Haris, dalam rentang waktu tersebut, ada begitu banyak dinamika dalam kasus Munir. Namun, sejak tiga tahun belakangan, agenda keadilan berujung pada pelemahan hukum terhadap para individu yang dinilai patut dimintai pertanggung jawaban. "Pengadilan (Mahkamah Agung) membebaskan Muchdi Purwoprandjono. Sedangkan Pollycarpus diberi remisi bertubi atas alasan yang tidak jelas," kata Haris.
Kemandirian yudisial dan kebijakan yang diambil Kemenkumham, jelas dia, tidak berarti bebas dari rasa keadilan korban, yakni istri dan anak-anak Munir. "Harusnya (penegakan hukum) sesuai dengan konstitusi (prinsip fair trial) dan kepantasan di mata rakyat. Jangan sampai semua kejahatan yang dilakukan agen atau pejabat negara kerap berujung lepas dan ringan hukuman," ujar Haris.
Haris mendesak, memasuki umur kasus Munir yang ketujuh ini, sudah sepantasnya Presiden, MA, kejaksaan Agung, serta Menteri Hukum HAM duduk bersama mengevaluasi kemajuan kasus ini dan memastikan keadilan terpenuhi. "Kalau saja staf ahli bidang hukum, HAM, dan pemberantasan Korupsi bisa membuat catatan bersama soal Korupsi seperti di akhir tahun lalu, mengapa koordinasi hukum atas kasus Munir tidak dilakukan? Staf ahli Presiden bidang tersebut dan Satgas Mafia Hukum bisa menginisiasi segera," tegasnya.
Kekhawatiran dan desakan Kontras bukannya tak beralasan. Pasalnya, jika Presiden SBY diam dan aparat hukum yang berwenang bisu, kasus Munir akan terus dihapus dari catatan proses hukum. Para pelaku, kata Haris, akan bebas (secara fisik maupun politik). Ini berarti tidak ada koreksi atas kejahatan tersebut bagi masa depan hukum dan keadilan di Indonesia. "Para pekerja HAM akan terus berada dibibir buas para penjahat HAM," tandasnya. (mic/wmr)
|