ACEH, Berita HUKUM - Konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dengan gerakan separatis Aceh Merdeka (AM), berlangsung sejak tahun 1976 hingga terbentuk perjanjian damai Aceh dalam Nota Kesepahaman memorandum of understanding (MoU) Helsinki di Finlandia, 15 Agustus 2005 silam, hingga hari ini pun masih terus berlangsung.
Untuk mewujudkan perdamaian Aceh secara utuh, maka lahirlah UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dengan mencabut UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sehingga berubahlah nama provinsi NAD menjadi provinsi Aceh.
Kemudian lahirlah qanun yang merupakan turunan UUPA, seperti Qanun Qanun No.8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nangroe dan Qanun No.3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang, Hymne, serta penentuan tapal batas Aceh dan beberapa point lainnya terhadap kekhususan Aceh.
Selanjutnya, oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui sidang paripurna pada Jumat 22 Maret 2013 lalu, mengesahkan qanun bendera dan lambang. Pengesahan qanun ini dilakukan bersamaan dengan dua revisi qanun lainnya, dan semua fraksi di DPRA menerima usulan rancangan qanun itu.
Namun, setelah disahkan DPRA, berbagai penolakan pun muncul mulai dari kalangan masyarakat sipil, tokoh Aceh, aktifis, sampai kelompok yang menamakan dirinya "Gayo Merdeka" sampai mengancam akan memisahkan diri dari Aceh. Sebab, yang menjadi perdebatan dalam pengesahan qanun itu tanpa mengakomodir dan melalui musyawarah suku-suku minoritas lainnya yang ada di Aceh, salah satunya suku di dataran tinggi tanah Gayo. Selainnya yaitu diantara syarat untuk menjadi seorang pemangku Wali Nangroe, tanpa harus melalui uji kompetensi seperti tidak diberlakukannya tes baca Al-qur'an sebagaimana yang diwajibkan kepada pemilihan pejabat-pejabat daerah di Provinsi Aceh.
"Kami menolak qanun itu diberlakukan di Aceh, karena berbau separatis," tegas Penasehat Persatuan Mahasiswa Tanah Gayo (Pematang), Fakhruddin, di Lhokseumawe.
Bahkan dalam pengesahannya pun sempat mengagetkan Jakarta, sebab, kata Mendagri, Gamawan Fauzi, qanun yang diusulkan DPRA mirip dengan simbul gerakan separatis Aceh, dan itu bertentangan dengan PP No.77 tahun 2007 tentang penggunaan Bendera dan Lambang. Sebab, (peraturan perundang-undangan yang hiearchnya lebih tinggi) daripada qanun.
Klarifikasi yang dilakukan oleh Kemendagri pun menuai kritikan dari Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah. "Seharusnya, kata-kata separatis itu tidak ada lagi. Dulu bermusuhan, sekarang kan tidak lagi," ujarnya.
Perdebatan panjang Pemerintah RI versus Pemerintah Aceh tentang Qanun Bendera dan Lambang, terus berjalan alot meskipun keduanya sepakat untuk menambah jadwal hari pembahasan sampai 31 Oktober 2013 mendatang. Namun, DPRA mengatakan bahwa Qanun No.3/2013 oleh DPRA sudah dimuat dalam Lembaran Aceh dan sudah dievaluasi oleh Pemerintah Pusat hingga tanggal 27 Mei 2013 lalu, dan Presiden tidak membatalkannya.
"Dengan demikian posisi qanun ini sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian pernyataan Anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Abdullah Saleh, melalui BlackBerry Messenger, Selasa (13/8).
DPRA mendesak Gubernur Aceh Zaini Abdullah, untuk mengambil sikap istiqamah. Gubernur Aceh harus teguh pendirian dengan apa yang telah disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan DPRA.
Keberadaan qanun Bendera dan Lambang ini, tambahnya, juga dalam rangka pelaksanaan MoU Helsinki dan UUPA. Oleh karenanya mempertahankan Bendera Aceh ini legal, konstitusional menurut hukum dalam NKRI.
Menurutnya, DPRA maupun Pemerintah Aceh sudah berjuang secara konstitusional dan tidak ada pelanggaran hukum dalam kaitan dengan persoalan ini. Secara etika ber-Pemerintahan, DPRA bersama Pemerintah Aceh telah menjelaskan dengan cara baik dan sangat terbuka kepada Pemerintah Pusat baik Mendagri maupun Menkopolhukam bahkan kepada Presiden SBY, bahwasanya Bendera Aceh ini hanya sebatas simbul daerah dan bukan simbul kedaulatan negara.
"Sedangkan simbul kedaulatan negara di Aceh tetap Bendera Merah Putih," tukasnya.
Dia juga berharap kepada segenap jajaran Pemerintah Pusat untuk mengikhlaskan saja keberadaan Bendera Aceh ini agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh sama bergerak untuk mengurus persoalan kesejahteraan rakyat.
Kini, sewindu sudah perjanjian damai berlalu, yang diperingati di sebagian Provinsi Aceh, bertepatan pada Kamis, tanggal 15 Agustus 2013. Di momen yang sangat bersejarah itu kembali menuai kontroversi yang mana pada peringatan MoU Helsinki itu, yang juga menjelang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-68, Gubernur Aceh, Dr Zaini Abdullah, telah mengimbau masyarakat agar tidak menaikkan bendera yang disahkan oleh DPRA, pada peringatan sewindu perdamaian Aceh. Imbauan tersebut, dikeluarkan setelah Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat melaksanakan pertemuan membahas bendera Aceh.
Meskipun aparat TNI/Polri, telah menurunkan bendera GAM, namun berdasarkan amatan di lapangan, pengibaran bendera yang bergambar bintang bulan masih tetap dikibarkan oleh kelompok yang pro dengan bendera, hampir di seluruh di Kabupaten Aceh Utara.
Karena, penurunan itu sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPA/PA Wilayah Pasee, Tgk Zulkarnaini ben Hamzah, bahwa pihak TNI/Polri tidak memiliki kewenangan ataupun mengantongi surat perintah untuk menurunkan bendera bintang bulan. Menurutnya, imbauan Gubernur Aceh adalah jangan mengibarkan bendera pada peringatan MoU, melainkan bukanlah menurunkan bendera yang sudah berkibar, apalagi dalam penurunannya dilakukan pada tengah malam seperti pencuri.
Kalaupun, tambahnya, jika terjadi pengibaran bintang bulan pada peringatan MoU itu bukanlah tanggungjawabnya, karena pihaknya tidak pernah menginstruksikan jajarannya untuk mengibarkan bintang bulan sebelum mendapati keputusan dari Pemerintah RI-Aceh.
Menanggapi kontroversi Bendera dan Lambang, seharusnya seluruh pengambil kebijakan di pemerintahan Aceh, untuk mengambil kebijakan yang pasti kepada masyarakat seluruh Aceh, terutama kepada yang pro terhadap keberadaan Qanun ini, untuk mentaati apa yang telah diimbau oleh pengambil kebijakan di Aceh.
"Polemik bendera masih dalam proses evaluasi Kemendagri sampai 31 Oktober 2013 mendatang. Sampai saat ini kan belum ada hasil dari evaluasi itu, iya kan?," demikian dikatakan Juru bicara Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS), Safwani SH, Jum'at (16/8).
Menurutnya, sepanjang pembahasan bendera itu belum final maka jangan mengibarkan terlebih dahulu, dan tunggulah semua itu selesai. Sehingga tidak menimbulkan kontroversi yang panjang terhadap Bendera dan Lambang ini.
Diujung tulisan singkat ini, penulis bukan ingin mencampuri persoalan bendera dan lambang Aceh, namun sekedar mengingatkan pembaca bahwa perjalanan panjang menuju perundingan damai Aceh, tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, bahkan hingga mengorbankan ribuan nyawa anak manusia pun berjatuhan. Karenanya, di momen perdamaian Aceh ini, mari bersatupadu sama-sama bangkit dari keterpurukan untuk membangun "Aceh Lon Sayang" (Aceh tercinta) kedepan menjadi lebih baik.(bhc/sul) |