JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua KPK Firli Bahuri meyakini pendidikan menjadi senjata ampuh dan utama untuk mengubah suatu keadaan.
Kondisi seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kebatilan, termasuk sikap dan perilaku koruptif dapat diperangi melalui pendidikan, formal maupun informal.
Hanya pendidikan lah, hal-hal buruk tersebut dapat diberantas tuntas sampai ke akar-akarnya," kata Firli, melalui keterangan tertulis, Kamis (5/5).
Keyakinan itu ia dapati dari hasil pembacaannya terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang semakin dihormati dunia, seiring meningkatnya kualitas pendidikan.
Disamping itu, petuah orang tua yang terbukti ampuh hingga mengantarkan Firli jadi Ketua KPK turut mempertebal keyakinan tersebut.
"Ibu saya berpesan tentang betapa pentingnya pendidikan untuk mengubah keadaan, khususnya kondisi ekonomi yang sangat sulit saat itu," ungkapnya.
Bungsu dari enam bersaudara ini diketahui berasal dari keluarga petani miskin di pelosok dusun, Sumatera Selatan. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil.
Namun berkat dorongan petuah sang Ibu, ia tak pernah patah arang. Justru keterbatasan itu ia jadikan pemacu semangat, pelecut tekad, untuk terus bersekolah setinggi-tingginya.
"Berat dan perih memang. Di kala teman SD berangkat diantar orang tua atau saudaranya dengan sepeda, saya berjalan kaki "nyeker" (tanpa alas) pergi dan pulang sejauh 16 km setiap hari," tuturnya.
Firli terpaksa lakukan itu karena tak mampu beli sandal apalagi sepatu. Saking melaratnya, ia bahkan terpaksa membayar SPP dengan cara barter buah kelapa atau durian. "Alhamdulillah kepala sekolah menerima," ujarnya.
Begitu pula masa SMP dan SMA. Hari-hari ia lalui dengan kerja keras demi menyonsong harapan di masa depan.
"Masa SMA, saya ikut kakak mengontrak di dekat SMA 3 Palembang, dan saya ingat betul setiap pulang sekolah, bersama kakak kami mencari ikan di rawa untuk ditukar dengan pisang serta beras ketan," tandas Firli.
Beras dan ketan lantas dibuat pepes ketan, dan Firli bertugas menjualnya ke warung atau berkeliling dari kampung ke kampung. Tentu saja hasil usaha tersebut belum mencukupi keperluan sekolah Firli. Karenanya, ia juga bekerja sampingan sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci mobil, juga menjual spidol di Taman Ria Palembang.
"Tamat SMA saya yang jelas tidak memiliki uang untuk melanjutkan jenjang pendidikan di universitas, mendaftarkan diri ikut sekolah yang dibiayai negara yakni Akabri. 3 kali saya daftar, 3 kali juga gagal diterima," ungkap Firli.
Firli kemudian memutuskan masuk sekolah bintara, dan lulus jadi anggota polisi berpangkat Sersan. Uniknya, meski sudah bekerja, Firli tak lantas melupakan petuah Ibu. Ia putuskan untuk ikut kembali tes Akabri yang keempat hingga kelima kalinya, namun tetap gagal.
"Barulah kesempatan yang ke-6 tahun 1987 saya bisa diterima Capratar (calon prajurit Taruna). Sejak diterima Capratar, Firli mengakui kesempatan mengenyam pendidikan tinggi dan berkarir terbuka lebar. Ia mengikuti pendidikan sebagai perwira polisi," katanya.
Dari sinilah, perlahan namun pasti ia bisa menggapai bintang. Kini purnawirawan polisi bintang tiga itu dipercaya mengomandoi pemberantasan korupsi.
"Perjalanan panjang nasehat ibu saya tentang pentingnya pendidikan sampai sat ini mengantarkan saya untuk berkarya kepada bangsa dan negara, mengabdi untuk ibu pertiwi, membebaskan dan membersihkan NKRI dari praktik korupsi," tandasnya.
Firli mengukapkan cerita di atas untuk mengajak segenap bangsa agar bersama-sama mewujudkan cita-cita nasional melalui pendidikan, tak terkecuali dalam upaya menanamkan cara pandang dan budaya antikorupsi.
"Mari tanamkan selalu nilai-nilai antikorupsi dalam setiap jenjang pendidikan di republik ini, agar cita-cita merdeka dari pengaruh laten korupsi dapat segera kita raih," pungkasnya.(rls/bh/amp) |