GENEWA, Berita HUKUM - Pemajuan perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) baik di level nasional maupun global adalah salah satu upaya kunci untuk mencegah konflik. Beragam tragedi kemanusiaan yang saat ini terjadi baik atas munculnya pertikaian, pengungsian yang ditolak berlindung dari kekejaman konflik di negaranya, tingginya intoleransi yang memicu perpecahan, kesemuanya merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengusulkan agar parlemen berperan menjadi jembatan untuk menerima aspirasi publik guna mencegah terjadinya konflik. Ini sebagai bentuk pengutamaan HAM dalam kehidupan bermasyarakat. Gagasan itu dia kemukakan di hadapan anggota parlemen dari seluruh dunia pada sesi Paripurna saat IPU ke-135, Selasa (25/10) lalu, di Geneva, Switzerland.
"Kunci untuk mengatasinya adalah dengan membentuk mekanisme dan tahapan-tahapan untuk terlibat dan mengatasi pelanggaran HAM sejak dini. Dan ini bisa dilakukan oleh Parlemen sebagai jembatan aspirasi publik dan yang menerima keluhan mereka," tandas Fadli, dalam rilis yang diterima Parlementaria, Senin (31/10).
Sesi Paripurna IPU kali ini mengangkat tema utama 'Human Rights Abuses as Precursors of Conflict: Parliaments as Early Responder.' Politisi dari Partai Gerindra itu lantas memaparkan beragam upaya Indonesia untuk memajukan HAM dalam upaya pencegahan konflik.
Ia menguraikan transformasi politik Indonesia pada 1998 menuntut seluruh elemen politik termasuk DPR untuk melakukan perubahan mendasar pada konstitusi. "Termasuk dengan memasukkan aspek HAM kedalam UUD 1945 sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan HAM tertinggi oleh negara," jelas Fadli.
Wakil Ketua DPR Bidang Politik, Hukum dan Keamanan ini berbagi kisah mengenai upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen inti HAM internasional, dua protokol tambahan dari konvensi hak anak, dan semua instrumen inti HAM dari ILO.
Di level nasional, DPR telah mengesahkan UU yang melandasi pewujudan HAM, pembentukan Komnas HAM sebagai National Human Rights Institution (NHRI), hingga Pengadilan HAM yang khusus menangani pelanggaran HAM berat yakni Genosida dan kejahatan kemanusiaan.
"Pengadilan HAM bahkan tidak kenal daluwarsa kasus. Untuk kasus HAM yang terjadi sebelum diundangkan, bisa dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc lewat rekomendasi DPR," urai Fadli.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya pada pelanggaran HAM seperti intoleransi, diskriminasi hingga kesewenang-wenangan penguasa. Hal-hal demikian dapat mendorong terjadinya konflik, mengubah masyarakat damai menjadi musuh seketika.
"Adalah mutlak kemudian untuk tidak memberi tempat, dimanapun di dunia ini, bagi munculnya intoleransi dan diskriminasi berbasis ras, agama, keyakinan dan pendapat. Tidak pula kemudian ada justifikasi bahwa penguasa bisa sewenang-wenang," tegas Fadli.
DPR menangkap potensi bila hal demikian terjadi akan merembet menjadi konflik sosial. UU Penanganan Konflik Sosial telah disahkan dengan tujuan menyelesaikan konflik dengan pendekatan berbasis HAM.
Lebih jauh ia menyoroti perlunya PBB dan Dewan Keamanan bertindak secara responsif, tepat dan segera dalam penyelesaian konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Palestina, Suriah dan lain sebagainya. "Konflik itu adalah pelanggaran HAM. Indonesia menegaskan bahwa penyelesaian konflik dapat terjadi bila pemajuan HAM dilakukan secara universal berdasar prinsip obyektif, imparsialitas, tidak memilah milah, dan tidak berstandar ganda atau pun dipolitisasi," tegasnya.
Fadli juga mengapresiasi inisiasi Sekjen PBB bertajuk Human Rights Up Front Initiative untuk pengarusutamaan HAM di badan-badan PBB dan berkomitmen untuk mengedepankan HAM dalam beragam kerja DPR.(BKSAP-eko/DPR/bh/sya) |