JAKARTA, Berita HUKUM - Kondisi pesawat Twin Otter yang hilang kontak sekitar pukul 14.10 WIB, Jumat ((2/10) milik perusahaan penerbangan Aviastar dengan tipe DHC6 nomor registrasi PKBRM, dengan membawa 10 orang termasuk 3 orang kru pesawatnya. Pesawat tidak dalam keadaan bermasalah ketika berangkat dari Masamba menuju ke Bandara Hassanudin, Makassar.
Kondisi cuaca di kedua bandara juga terpantau tidak bermasalah dengan jarak pandang yang bersih sejauh sembilan kilometer. Namun, pada sekitar pukul 14.10 Wita, pesawat yang sedang terbang dari bandara Andi Djemm, Massamba kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan tujuan ke bandara Hassanudin, Makassar kehilangan kontak pukul 15.39 waktu setempat.
"Terakhir melakukan EMA pada 15 September 2015. Pesawat melakukan maintenence, daily inspection," ujar General Manager Komersial Aviastar, Petrus Budi Prasetiyo pada awak media di kantor Aviastar, Kalimalang, Jakarta Timur pada, Jumat (2/10).
Ternyata, "Lebih dari perkiraan waktu sampai. Pesawat Aviastar telah berangkat dari Masamba sekitar pukul 14:35 Wita dan dijadwalkan tiba di Bandara Sultan Hasanuddin sekitar pukul 15:39 Wita," jelasnya.
"Para teman kami menyampaikan berita ini kepada kami. Untuk kordinasi dengan pihak-pihak terkait. Terutama pada Basarnas," ujar Petrus Budi Prasetiyo.
Diketahui pesawat itu berangkat terbang dari bandarudara Andijema, Masamba Sulawesi Selatan menuju Ujung Pandang, Makassar pukul 14.25 WIT, dengan membawa 3 (tiga) kru dan 7 (tujuh) penumpang, tepatnya terdiri dari 4 (empat) dewasa, 1 (satu) anak-anak dan 2 (dua) bayi, jadi total ada 10 jiwa di dalam pesawat tersebut.
Ketika berangkat, mereka dua kali kontak dengan Ujung Pandang, Info pada 14.33 WIT, mereka masih 4.500 kaki pukul 14.36 WIT mereka sudah mencapai ketinggian 8.000 kaki. Lalu kemudian, mereka mengarah ke Makassar dan mereka menyampaikan akan melapor posisinya pada pukul 15.15 WIT. Namun, sekitar 60 notekemal dari titik Ujung Pandang. Tapi dengan sampai pada waktunya position tidak jadi kontak oleh pengawas udara dari bandara Juanda dan tidak menerima apapun.
"Pihak kami selain mendirikan Crisis Centre di Jakarta, juga di Ujung Pandang. Guna membantu Keluarga dan para penumpang," ujar Petrus Budi Prasetiyo, GM komersial and business development Aviastar pada awak media di Kalimalang. Jakarta Timur, Jumat (2/10).
SE DHC6-300 dengan nomor registrasi PKBRM buatan negara Kanada tahun 1981 dan baru bergabung pada Januari 2015. Kondisi Pesawat layak terbang. Cek layak terbang 15 September 2015. Saat pesawat berangkat bahan bakar yang dibawa sebanyak 2.300 pound, sedangkan untuk 1 jam 10 menit tidak lebih dari 1.200 pound. Dengan 2.300 pound pesawat dapat menempuh jarak terbang hingga 4 (empat) jam, sesuai foulding persyaratan CSR. Dengan nama kru, Pilot, Iriafriadi yang memiliki jam terbang 2.911 jam. Copilot Yudistira Febby dengan 435 jam terbang, dan Engineer Soekris Winarto.
Pesawat hilang kontak pukul 14:36 Wita di ketinggian 8.000 kaki. Yang terakhir kontak dengan jadwal kontak selanjutnya pada pukul 15.15 Wita, untuk jadwal kontak buat minta ijin turun ke Makassar.
Diulang setiap 5 menit, kontak tak ada respon sampai pukul 15.39 wita yang akhirnya pihak tower menghubungi Aviastar DNA Basarnas. Proses pencarian di darat oleh Basarnas Makassar dan Senkom Kepolisian. Co-pilot dari Merpati, Kapten dari Aviastar.
Komunikasi dengan keluarga sejauh ini sudah ditangani oleh perwakilan di Masamba, DNA Basarnas. Untuk biaya penanggulangan bagi keluarga ditanggung pihak Aviastar. Manajemen dan owner ada 6 orang terbang ke Makassar pukul 19.00 Wib.
Sementara itu, pada pukul 22.00 Wib pihak KNKT tampak juga hadir ke kantor Aviastar dan mengatakan bahwa, dari pihak KNKT sudah mengirim tim ke Makassar dan akan membantu Basarnas untuk mencari lokasi. "Yang paling penting saat ini adalah menentukan lokasi pesawat," jelas Kepala KNKT Bapak Suryanto, saat menjelaskan kepada awak Media, Jumat (2/10).
"Mudah-mudahan bisa dilakukan rescue secapatnya besok pagi. Sekarang mau ke Basarnas untuk mendiskusikan lokasi," tambahnya.
"ELT ada. Bisa juga tidak berfungsi karena impactnya terlalu keras. Karena alat itu tidak didesain untuk tahan benturan keras/impact. Harus mendiskusikan dengan basarnas dan punya beberapa informasi dan bersama basarnas untuk menentukan lokasi," pungkas Suryanto, yang paling utama menentukan area untuk SAR besok.(bh/mnd) |