JAKARTA-Kekhawatiran politisasi kasus hukum mantan bendahara umum DPP Partai Demokrat M. Nazaruddin, mulai tampak. Apalagi, setelah ada surat balasan dari Presiden SBY untuk Nazaruddin tertanggal 21 Agustus 2011.
Surat balasan itu, menanggapi surat Nazaruddin yang dikirim sebelumnya tertanggal 18 Agustus 2011. "Dimensi politik kasus ini semakin mendalam ketika menanggapi surat Nazaruddin ini," kata Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif kepada wartawan di gedung DPR, Senin (22/8).
Jika Presiden tidak menanggapi ini, tentu tidak akan bernilai politis. Apalagi dalam hukum Presiden pun tidak bisa melakukan intervensi, sehingga nuansa politis sangat keliatan. "Kalau diserahkan, sebenarnya tidak perlu serius (tidak perlu dipublikasikan-red). Dengan demikian dimensi politik semakin kuat," lanjutnya.
Seharusnya, Presiden tidak perlu membeberkan ke publik bahwa sudah ada surat balasan. Cukup antara SBY pribadi dengan Nazaruddin yang memang pernah dekat karena berada dalam kendaraan politik yang sama. "Kalau personal sebagai Demokrat, itu isu personal. Silaturahmi biasa, tidak di publik," katanya.
Sementara anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat mengatakan, surat balasan Presiden SBY itu jutsru sangat menguntungkan Nazaruddin. Pasalnya, komunikasi mereka akan semakin terbuka dan sangat mungkin Nazaruddin akan menulis surat lagi kepada SBY. “Saya menduga Nazaruddin masih akan menulis surat balasan lagi terhadap surat jawaban SBY itu," jelasnya.
Menurut Martin, isi surat balasan dari Nazaruddin sebagai respons dari balasan surat dari SBY bisa bermacam-macam. Namun begitu, Martin berharap, jika nantinya Nazaruddin kembali mengirimkan surat, maka surat tersebut tak perlu lagi ditanggapi atau dibalas oleh SBY.
"Suratnya mungkin lain, bisa bernada memelas atau mengancam. Kalau seandainya surat Nazaruddin datang lagi, saya sarankan agar SBY tidak usah membalasnya lagi. Cukup sekali ini saja," tandasnya. (inc/rob)
|