JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Mabes Polri segera melakukan pemeriksaan internal terhadap sejumlah anggotanya yang bertugas di Polda Papua. Hal ini sebagai langkah tindak lanjut kerusuhan antara pekerja PT Freeport dengan aparat kepolisian yang menelan korban jiwa pada Senin (10/10) kemarin.
“Kami sudah kirimkan tim. Sekarang (para anggota kepolsian) akan diperiksa. Istilahnya, diaudit untuk mengetahui lebih dalam kejadian tersebut,” kata Karo Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. I Ketut Untung Yoga Ana kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/10).
Menurut dia, pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah peluru yang ditembakkan anggota polisi sudah sesuai dengan SOP atau tidak. Namun, pihaknya menekankan bahwa pada dasarnya polisi mempunyai tugas pelayanan masyarakat dan mempunyai tanggungjawab untuk melindungi wilayahnya.
“Ada aturannya dalam mengatasi suatu keadaan yang tidak terkendali. Petugas di lapangan pasti diperintahkan untuk mengurangi resiko sekecil mungkin. Itu pun atas pertimbangan-pertimbangan tertentu, agar tidak banyak korban sehingga perlu dilakukan langkah-langkah tegas,” jelas Untung Yoga.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI La Ode Ida, mnyesalkan kerusuhan antara pekerja Freeport dengan aparat keamanan. Tapi hal ini sebenarnya diakibtkan pemerintah terlalu memanjakan PT Freeport tersebut. Sedangkan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar dan pekerja diabaikan.
"Indonesia memposisikan Freeport sebagai instansi vital. Sehingga perlu dijaga keamanannya. Akhirnya aparat bisa bertindak semaunya akibat doktrin tersebut. Insiden Freeport terkesan aparat dibayar asing untuk menghabisi warganya sendiri. Padahal para karyawan ini hanya menuntut haknya," jelas La Ode.
Menurut dia, seharusnya aparat keamanan bisa memfasilitasi pertemuan antara kedua belah antara manajemen dengan pekerja. Sebab, masalah awal dari persoalan ini adalah belum adanya kesepahaman terkait upah. "Aparat keamanan harus bertanggungjawab. Mereka dibayar negara bukan untuk membunuh rakyat, tapi harus melidunginya. Seharusnya aparatlah yang meminta manajemen Freeport untuk berdialog dengan pekerja, bukan menghalangi pekerja yang ingi bertemu dengan pihak manajemen Freeport," jelas dia.
Terkait upah pekerja yang menjadi alasan aksi, Laode sepakat dengan perjuangan pekerja perusahaan tambang itu. Pihak Freeport seharusnya tidak memberikan upah buruh yang berpatokan dengan Upah Minimum Regional (UMR). Sebab, PT Freeport adalah perusahaan asing. Artinya, standar gaji yang diberikannya harus berstandar gaji internasional. “Ini yang harus dipahami aparat keamanan,” tandasnya.
Tidak Berani
Sementara itu, Ketua PB PMII Bidang Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam, Aidil Azhari mengatakan, sejauh ini Freeport menolak renegosiasi kontrak dengan pemerintah Indonesia, sementara pemerintah tidak berani mengambil sikap. Pemerintah mewakili negara berada pada posisi yang setara dengan investor. Jika terjadi trouble of agreement maka Freeport bisa membawa pemerintah RI ke ranah hukum internasional.
“Atau sebaliknya, jika Freeport yang membangkang, pemerintah yang tuntut. Ini demi hukum. Freeport itu disini beroperasi dengan bendera PT Freeport Indonesia (PTFI). Nah PTFI itu kan didirikan disini, di negara kita dengan UU Perseroan Terbatas, walaupun dia itu investasi asing,” ujar Aidil Azhari, Ketua PB PMII Bidang Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam.
PT Freeport Indonesia telah membukukan total cadangan bijih terkira sebesar 2,6 miliar metrik ton yang memiliki kandungan tembaga sebesar 23 juta pada 6 lokasi penambangan. Dari total 18,98 miliar dolar AS pendapatan Freeport McMoran sepanjang 2010, pemasukan tertinggi berasal dari Indonesia sebesar 6,377 miliar dolar AS. Angka tersebut membuktikan bahwa emas sebesar 1.471,34 metrik ton dan perak sebesar 5.553,68 metrik ton.
PT Freeport Indonesia sangat penting bagi Freeport McMoran. Freeport akan bertahan dan melakukan segala cara, agar pemerintah RI menghormati kontrak sampai 2041. Posisi pemerintah yang lembek, membuat Freeport makin berani. “Ini pangkal dari setiap masalah yang terjadi Papua, karena kesejahteraan penduduk setempat tak mendapat perhatian yang layak,” ujar dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, bentrokan terjadi antara aparat keamanan dengan pekerja di Terminal Gorong-gorong, Timika, Papua, Senin (10/10) kemarin. Bentrokan mengakibatkan seorang perkaja tewas dann belasan lainnya luka-luka. Dalam peristiwa ini, tiga mobil kontainer dibakar massa di ruas jalan dari Pelabuhan Portsite menuju Tembagapura, tepatnya di Mil 28 samping Bandara Mozes Kilangin Timika. Akibatnya, tidak ada penerbangan, karena terhalang asap tebal.(inc/bie/rob/ind)
|