PRANCIS, Berita HUKUM - Seorang perempuan muslim di Prancis memprotes pemberlakuan larangan penggunaan jilbab bercadar [niqab] oleh Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia untuk Eropa [ECHR] yang berpusat di Strasbourg, Prancis.
Wanita itu berpendapat bahwa memakai niqab, dan burka [jilbab dengan cadar dan berjendela kecil untuk mata], sesuai dengan "keyakinan agama, budaya dan keyakinan pribadi."
Dia menyangkal memakainya karena tekanan dari keluarga.
Ramby de Mello, seorang pengacara Inggris yang mewakili wanita yang tidak disebutkan namanya itu, mengatakan hukum telah melanggar hak kliennya untuk beragama, bebas berbicara dan melanggar kehidupan privasi serta membuatnya merasa "seperti tahanan di negaranya sendiri."
Jilbab adalah "bagian dari identitasnya seperti DNA yang ada pada kita," kata de Mello.
Meski namanya tidak disebutkan di dalam dokumen, perempuan tersebut dikatakan berkewarganegaraan Prancis yang lahir tahun 1990 di Prancis.
Protes ini diajukan ke pengadilan pada April 2011 ketika Prancis memberlakukan larangan bagi masyarakat untuk jilbab bercadar.
Memicu Debat
Sebelumnya, satu kelompok feminis Prancis terkemuka mendesak ECHR untuk menegakkan larangan tersebut dengan alasan untuk membebaskan perempuan.
"Jilbab yang menutupi seluruh wajah benar-benar mengubur tubuh dan wajah, merupakan penghapusan sejati identitas wanita sebagai individu di depan umum," kata kepala Liga Internasional untuk Hak-Hak Perempuan, Annie Sugier, dalam sebuah surat kepada pengadilan.
"Mengenakan cadar tidak hanya membuat sulit untuk mengidentifikasi seseorang, dan menghapus identitas pemakainya," katanya kepada pengadilan.
Perancis melarang masyarakat mengenakan penutup wajah pada 2011, menetapkan denda bagi pelanggar hingga 150 euro (Rp2,4 juta).
Negara ini adalah rumah bagi minoritas Muslim terbesar di Eropa Barat yang berjumlah sekitar lima juta orang, atau hampir 8% dari populasi. Sebagian besar berasal dari wilayah bekas koloni Prancis di Afrika Utara.
Dalam perkembangan lain, Pengadilan Banding Paris membatalkan keputusan pengadilan tinggi dengan mengeluarkan putusan yang membenarkan pemecatan seorang asisten direktur penitipan anak milik swasta yang menolak untuk melepas jilbab di tempat kerja.
Para pendukung undang-undang ini mengatakan Islam tidak mewajibkan pemeluknya untuk mengenakan cadar.
Sementara aktivis HAM lainnya memprotes keras UU ini, salah satunya datang dari Amnesty International yang mengatakan UU ini melanggar hak-hak perempuan "untuk berekspresi dan beragama."(BBC/bhc/sya) |