JAKARTA, Berita HUKUM - Almarhum Kiai Haji Achmad Haiti adalah salah satu sosok ulama yang konsisten mengabdikan hidupnya untuk kegiatan dakwah dan mengajarkan pendidikan agama Islam kepada para "santrinya" di masjid dan mushalla di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan beliau rela meninggalkan berbagai "kenikmatan" duniawi dan memilih menghabiskan hari-hari panjangnya untuk mengurus masjid.
Bapak 10 anak (dua orang telah meninggal saat masih berusia muda) dan salah satunya sukses menjabat di Kepolisian Republik Indonesia, yakni Wakapolri Komjen (Pol) Badrodin Haiti, dikenal sebagai seorang ayah yang teguh pada pendirian. Beliau sudah menggariskan ketetapan, bahwa seluruh anaknya harus bersekolah di lembaga pendidikan Islam atau pesantren.
Wajar kalau seluruh anaknya, sempat mengenyam pendidikan di Pesantren, termasuk Komjen Pol. Badrodin Haiti kini dicalonkan menjadi Kapolri yang masa kecilnya bersama kakak dan adiknya bersekolah formal sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Baitul Arqam, Balung, Jember. Jarak rumahnya dengan pondok sejauh 8 kilometer, ditempuh dengan mengayuh sepeda onthel pemberian orangtuanya.
Dan baru setelah lulus SMA, Badrodin Haiti melanjutkan ke pendidikan umum dan diterima di AKABRI Kepolisian tahun 1978. Sedang saudara lainnya banyak yang menjadi guru -PNS. "Kalau urusan sekolah anak-anaknya, tidak bisa ditawar harus masuk sekolah agama, ke pesantren atau madrasah, tapi soal pekerjaan beliau memberi kesempatan boleh bekerja dimana saja," tutur H. Lukman Haiti, putra kedua almarhum yang kini melanjutkan perjuangan abahnya, dengan aktif berdakwah dan menggerakkan PCM Paleran Kabupaten Jember.
KH. Achmad Haiti yang wafat pada usia 97 tahun, setelah beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Jember, Senin (10/3/2014) lalu, selama hidupnya dikenal sebagai tokoh yang merintis pendirian Persyarikatan Muhammadiyah di Jember, khususnya di wilayah Paleran (Kec. Umbulsari) dan sekitarnya.
Hasil rintisan dan perjuangan beliau, kini berdiri Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paleran dengan berbagai amal usahanya. Diantara AUM yang berdiri berupa TK ABA, SD, SMP dan SMK Muhammadiyah, sejumlah masjid/mushalla, serta beberapa bidang tanah waqaf yang dikelola Muhammadiyah.
Sejatinya, Achmad Haiti yang lahir pada tahun 1917, pada masa mudanya pergi meninggalkan rumah tanpa pamit pada orangtuanya di Sempyuh Banyumas, Jawa Tengah. Saat itu, beliau hanya diasuh ibundanya karena abahnya sudah meninggal di tanah suci Mekkah, saat beliau masih dalam kandungan. "Jadi, bapak sejak kecil sudah yatim. Beliau sempat menangis haru, saat tiba di Tanah Suci, karena teringat Mbah Kakung (abahnya) yang wafat di Makkah," lanjutnya.
Menurut Lukman, karena ada masalah di keluarga besarnya di Banyumas, ayahnya (Achmad Haiti) memilih meninggalkan rumah. Tanpa pamit, Achmad Haiti muda, memilih merantau ke sebuah desa, di Kecamatan Wuluhan, Jember. Bukannya tanpa tujuan, Achmad Haiti memilih menetap dan bermukim di sebuah Pondok Pesantren Salaf di Desa Tamansari, Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember.
Kebetulan pemilik dan pengasuh pondok masih kerabatnya yang juga berasal dari Banyumas. Di ponpes inilah, Achmad Haiti menempa diri dengan belajar agama dan memperdalam kitab-kitab klasik ala pesantren, seperti Kitab Sulam dan Safinah, serta kitab klasik lainnya.
Bermukim di pondok dan tanpa subsidi serta bantuan dana dari orangtuanya, tidak menjadikan Achmad Haiti berkecil hati. Beliau sudah terbiasa hidup prihatin, bahkan hari-harinya lebih banyak dilalui dengan berpuasa sunnah. "Untuk menyambung hidup selama di pesantren, beliau rela bekerja apa saja, termasuk menjadi buruh petik buah kelapa, karena di kawasan Wuluhan saat itu memang menjadi pusat pembudidayaan tanaman kelapa," jelas Lukman.
Selepas dari ponpes, Achmad Haiti memilih bermukim di Paleran, Umbulsari. Di tempat inilah, beliau mengabdikan ilmunya yang diperoleh selama di ponpes kepada para santrinya. Selain mengajar mengaji di masjid dan mushalla, Kiai Achmad Haiti juga sempat mendirikan madrasah ibtidaiyah.
"Santri Bapak, cukup banyak. Kalau pagi, beliau mengajar di madrasah yang didirikannya, dan sore harinya mengajar ngaji santrinya di masjid. Selebihnya, beliau lebih banyak tinggal dan mengurus di masjid. Sesekali, beliau mengisi pengajian, hingga keluar wilayah kecamatan," jelas Lukman, anak kedua yang sempat merawat ayahnya hingga akhir hayat.
Praktis kehidupan Kiai Achmad Haiti dihabiskan untuk kegiatan dakwah dan mendidik agama Islam kepada para santrinya. Untuk persoalan dunia, menurut Lukman, ayahnya sama sekali tidak tertarik untuk menumpuk harta. Beliau sempat berdagang alat-alat rumah tangga di pasar setempat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bahkan, saat beliau menemukan pendamping hidup, yakni Siti Aminah, gadis setempat yang mendapat warisan sawah dan ladang yang cukup luas dari orangtuanya, Achmad Haiti tetap tidak berubah. Beliau tetap konsisten dengan aktifitas dakwahnya dan pendidikan agama yang dikelolanya.
"Untuk mengurus sawah, ya kami anak-anaknya dengan ibu, bapak tidak ikut-ikut. Boleh dikata, untuk urusan makan dan kebutuhan hidup lainnya menjadi tanggung jawab ibu, sedang untuk urusan pendidikan dan mengisi bathiniyah anak-anaknya menjadi tanggung jawab bapak," jelas Lukman.
Buah pernikahannya dengan Siti Aminah, Kiai Achmad Haiti dikaruniai 10 orang anak, dua diantaranya meninggal sebelum usia dewasa. Kedelapan putra-putri Kiai Achmad Haiti antara lain, Siti Halimah, anak pertama yang kini bermukim di Blitar. Kemudian disusul Lukman (PNS-Guru) tinggal di Paleran, jember. Selanjutnya, Muhaimin (Blitar), dan Komjen (Pol) Badrodin Haiti yang kini menjabat Wakapolri adalah putra keempat. Kemudian, Nahrowi (PNS-Guru, Jember), Jamrozi (karyawan bank, Jakarta), Siti Humaidah (pengusaha, Jember) dan Siti Mudrikah (wiraswasta, Jakarta).
Musuh PKI
Perjalanan dakwah Kiai Achmad Haiti tidaklah mudah, penuh tantangan dan hambatan. Karena itu wajar, kalau beliau sering berpindah tempat tinggal, mencari masjid dan mushalla yang bisa dipakai untuk berdakwah dan terutama untuk mengajar ngaji.
Salah satu "musuh" beliau dalam berdakwah adalah para tokoh aktivis partai komunis (PKI) di wilayah Paleran dan sekitarnya. Untuk menghalang-halangi langkah dakwah Kiai Achmad Haiti, anggota PKI tak segan-segan melakukan tindakan licik dan tidak pantas. "Bapak terpaksa mengalah dan memindahkan kegiatan dakwahnya ke masjid kampung sebelah, setelah masjid yang dipakai ngaji tempat wudhunya diberi (maaf) kotoran manusia oleh anggota PKI," ujarnya.
Selanjutnya, Achmad Haiti menempati sebuah masjid di timur sungai, Karang Genteng. Justru di Masjid "Darun Najah" ini kegiatan pengajian dan madrasah yang didirikannya berkembang pesat. Santrinya cukup banyak, bahkan Achmad Haiti menjadi Kiai Masjid dan tokoh masyarakat yang cukup disegani. Hampir seluruh kegiatan keagamaan di masjid dan juga di kampung, selalu dipimpin oleh Sang Kiai. "Beliau dianggap Kiai Keramat yang sangat disegani," lanjut Lukman.
Tentunya, faham keagamaan yang dianut Kiai Achmad Haiti, seperti umumnya kiai salaf yang memimpin masjid di kampung-kampung di tanah air. Selain ngaji kitab-kitab klasik, juga memimpin doa tahlil, memimpin manaqib, dan kegiatan keagamaan pada umumnya.
Orientasi keagamaan Kiai Achmad Haiti berubah sedikit demi sedikit setelah beliau aktif dalam Partai Masyumi. Kekagumannya pada sosok M. Natsir, membuat Kiai Haiti, mengkaji ulang pemahamannya terhadap kitab-kitab klasik yang lama dipelajarinya dan membandingkan dengan isi kandungan al Qur'an.
Beliau kemudian memberanikan diri mengubah kebiasaannya saat membacakan khutbah Jumat di masjid. Kalau biasanya beliau khutbah dengan membawa tongkat, saat itu beliau mencoba untuk tidak memakai tongkat. "Bahkan, beliau juga tidak membaca teks khutbah berbahasa Arab, yang biasa dibaca oleh para khotib saat naik mimbar," tutur Lukman.
Kontan, cara berkhutbah Kiai Haiti yang diluar kebiasaan itu, mendapat reaksi keras jamaah Jumat yang memenuhi masjid. "Sejak saat itu, beliau tidak lagi diperkenankan menjadi khotib Jumat. Meski masih tetap shalat di masjid tersebut, bapak lebih memilih menjadi makmum dan meninggalkan kebiasaannya sebagai imam shalat, karena jamaah sudah tidak menghendaki beliau menjadi imam," jelasnya.
Kewibawaan beliau sebagai Kiai Masjid, dengan sendirinya memudar. Kiai Achmad Haiti dengan sabar dan lapang dada, menanggalkan setumpuk gelar dan kehormatan yang sebelumnya disematkan kepadanya. Bahkan, menurut Lukman, pada puncaknya Kiai Achmad Haiti, kembali pindah tempat tinggal, karena sudah tidak nyaman berada di lingkungan masyarakat yang berbalik memusuhinya.
Di tempat yang baru, di Dusun Krajan Kulon, Karang Genteng, Kiai Achmad Haiti tidak surut untuk tetap berdakwah. Justru di tempat baru ini, beliau semakin terang-terangan menyebut dirinya anggota Persyarikatan Muhammadiyah. Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1971, beliau merintis pelaksanaan Sholat Idul Fitri di lapangan desa setempat. "Saat pertama kali diadakan, jamaah sholat Idul Fitri hanya 12 orang, terutama dari keluarga sendiri dan beliau yang menjadi imam sekaligus khotibnya," jelasnya.
Dari sinilah cikal bakal Muhammadiyah di Paleran berdiri. Setelah cukup lama menjadi ranting Muhammadiyah Kecamatan Bangsalsari, pada tahun 2000 lalu, Paleran yang hanya sebuah desa, bisa berdiri Cabang Muhammadiyah, hingga menjadi PCM diantara 22 PCM lainnya di kabupaten Jember. Semoga beliau khusnul khotimah. Amin. (sp/istismar/mag/sangpencerah/bhc/sya) |