Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
Pemilu 2014
QUO VADIST Independensi Media di Daerah Rawan Konflik Jelang Pemilu 2014
Wednesday 12 Mar 2014 21:33:50
 

Kamaruddin Hasan Ketua Development for Research and Empowerment (DeRE-Indonesia)
 
Oleh: Kamaruddin Hasan

SEMASA HIDUPNYA Dr. Dedy N. Hidayat dalam sebuah diskusi perkuliahan tentang Ekonomi Politik Media di Pasca UI Salemba Jakarta, tahun 2006 mengatakan, “...media massa berfungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen-obyektif dimana isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan. Sekali lagi, posisi media sebagai ruang dialog membutuhkan landasan filosofis independen, obyektifitas dan landasan praktis netralitas yang perlu dijaganya secara baik dan benar”.

Saat itu, saya sebagai salah satu mahasiswa pascasarajana UI yang berasal dari daerah konflik yaitu Aceh, mempertanyakan bagaimana dengan daerah konflik seperti Aceh, Papua, Ambon, Poso dan lain-lain, apakah media mampu mempertahankan landasan filosofinya menjaga netralitas, independensi dan obyektifitasnya dalam kondisi tidak normal?.

Diskusi kelas tersebut berlangsung 1 jam lebih, beberapa poin perlu saya kemukakan, antara lain; bahwa rakyat kita secara umum masih awam terhadap proses lahirnya sebuah berita-cerita dari media massa dan tentu saja media mengambil bahan baku dari pengalaman dan mengemasnya dalam bentuk cerita atau berita; ia menceritakan kembali cerita itu kepada kita, dan kita menyebutnya realitas.
Memang seawam-awamnya rakyat pasti tahu bahwa media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada dibalik informasi yang disampaikan. Minimal media memiliki tiga kepentingan utama;

kepentingan ekonomi (economic interest), kepentingan kekuasaan (power interest) serta kepentingan public. Kepentingan publik inilah sebenarnya yang mendasar dan media mesti menjadi ruang publik / public sphere yang independen, obyektif serta netral.

Ironinya public sphere / ruang publik malah sering terabaikan yang diakibatkan oleh kuatnya kepentingan ekonomi maupun kekuasaan. Kuatnya kepentingan tersebut sesungguhnya menjadikan media tidak lagi independen, obyektif, netral, jujur, adil dan terbuka yang pada akhirnya menimbulkan persoalan obyektivitas pengetahuan sebagai bias dari cerita atau pemberitaan media.

Mengutip pendapat Yasraf Amir Pilliang dalam post realitas, kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan menentukan apakah informasi yang disampaikan mengandung kebenaran (truth), atau kebenaran palsu (psedo-truth); menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas atau menyimulasi realitas dan independen atau tidaknya pemberita media.

Rakyat umumya berada diantara dua kepentingan utama media, yang menjadikan rakyat mayoritas diam, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi milik mereka sendiri. Hegemoni dan politik media inilah yang mesti diseimbangkan dengan kepentingan publik, pada dasarnya publik sebagai pemilik informasi. Media berkewajiban untuk menyajikan liputan secara berimbang (cover both side), check and rechech serta balancing reporting. Artinya rakyat berhak mendapatkan informasi yang jujur dan benar.

Disisi lain, lemahnya pemahaman tentang conten analisis, wacara atau framing, menyebabkan rakyat kita menerima secara “mentah” sebuah pemberitaan. Ketika media tidak mampu mengemas sebuah realitas secara obyektif, netral dan independen dikhawatirkan terjadi konflik yang berkelanjutan dalam masyarakat.

Harus diakui bahwa media memiliki kekuatan mulai dari proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan angle, penambahan atau pengurangan foto dan gambar serta lainnya. Dengan demikian sebenarnya media punya potensi untuk jadi peredam, pencerahan atau pun pendorong munculnya konflik. Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya. Mengaburkan dan mengeleminirnya.

Media bisa merekonstruksi realitas, tapi juga bisa menghadirkan hiperrealitas atau realitas semu yang dapat membingungkan rakyat. Ada tiga posisi media dalam memberitakan sebuah realitas atau isu yang dapat mendatangkan konflik dalam masyarakat, yaitu sebagai issue intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan mempertajamnya. Dengan posisi sebagai intersifier, media mem-blow up realitas yang jadi isu sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan. Sebagai conflict diminisher, yakni media menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, bisa kepentingan ideologis atau prakmatis.

Selain itu juga media dapat memposisikan diri sebagai conflict resolution, yaitu media menjadi mediator dan fasilitator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan para pihak pada penyelesaian dan berita yang seimbang. Untuk menjadi media yang independen, obyektif dan dapat menjadi Conflict resolution, media mesti menerapkan pola penyelidikan (investigation) dan pola ini masih belum semua media mampu menerapkannya.

Artinya pola investigasi baru sebagai wacana bagi sejumlah jurnalis kita dalam meliput berbagai isu atau punca konflik diberbagai pelosok tanah air misalnya di Aceh, Papua dan poso. Media kita juga belum banyak yang mengenal provetic journalism sebagaimana diterapkan oleh beberapa media di negara maju.
Pertanyaan lanjutan benarkah media memiliki kekuatan yang mampu mempersuasi dan mengajak rakyat untuk bertindak? Tindakan macam apa yang dapat dilakukan rakyat/pembaca sebuah media yang penuh dengan informasi bias dan terkadang semu? Juga bagaimana media memainkan peran dalam ‘menyejukkan’ rakyat negara yang sedang mengalami multikrisis apalagi menjelang Pemilu 2014.

Analisa saya, media-media di daerah rawan konflik sering memposisi dirinya sebagai memunculkan isu/konflik dan mempertajamnya sebagai comunity kepentingan. Pencampuradukan perekayaan antara kepalsuan dan realitas ini (simulacra) atau hiper-realitas mengakibatkan konflik tidak akan pernah selesai, walau dalam wajah dan bentuk yang baru.

Sebagai rakyat / audience media, mesti selalu bersikap kritis. Tidak boleh secara “polos dan lugu” menerima begitu saja pesan-pesan yang disampaikan media. Apa yang tampak di pemukaan, berita di suratkabar, dengar di radio, atau saksikan di layar televisi, mungkin tidak menampilkan seluruh realita, untuk tidak mengatakan bahwa tampilan permukaan itu mungkin justru sengaja dirancang untuk mengecoh publik.

Hanarapan kita, jangan sampai media tidak lagi berfungsi sebagai penyampai informasi yang akurat, benar, dan berimbang. Namun, media lebih difungsikan sebagai alat propaganda, pengarah, dan penggalang massa untuk kepentingan tertentu.

Ketika media tidak mampu mengemas sebuah realitas secara obyektif, maka dianggab tidak independen. Independensi media diterjemahkan sebagai sebuah kerja yang bebas kepentingan, netral sepenuhnya, obyektif serta melihat peristiwa secara makro. Sejatinya media yang bisa meraih kepercayaan publik adalah mereka yang mendedikasikan kerja profesionalismenya pada kepentingan publik. Itulah yang disebut independensi media. Secara teoritis sistem siaran publik tidak lah bebas, tetapi biasanya terdapat aturan pelindung penjamin adanya independensi kebijakan dan profesionalisme tertentu.

Memang dalam masyarakat yang majemuk dan negara – bangsa yang tengah dilanda multikrisis, bisa-bisa masalah struktural (vertical) yang menyangkut masalah penghasilan (ekonomi), kedudukan sosial politik, pendidikan dan lain-lain bisa tiba-tiba meledak dan berkembang menjadi masalah (horizontal) kelompok, sikap perilaku dan sebagainya. Media dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menjaga ketentraman masyarakat termasuk memulihkan keadaan. Jangan malah, menyiramkan bensin dalam kobaran api. Saya kira salah satu komponen keberhasilan pemilu 2014 secara demokratis terutama di daerah-daerah rawan konflik seperti Aceh, Papua, Poso dan lain-lain, keterlibatan media secara obyektif, independen, menjaga netralitas dan memfungsikan diri sebagai ruang publik dan conflict resolution, menjadi sangat penting, berpikir dan bertindak demi kemaslahatan bangsa dan negara. Semoga.(kh/bhc/sya)

Penulis adalah: Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh
Ketua Development for Research and Empowerment (DeRE-Indonesia)




 
   Berita Terkait > Pemilu 2014
 
  Sah, Jokowi – JK Jadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019
  3 MURI akan Diserahkan pada Acara Pelantikan Presiden Terpilih Jokowi
  Wacana Penghapusan Kementerian Agama: Lawan!
  NCID: Banyak Langgar Janji Kampanye, Elektabilitas Jokowi-JK Diprediksi Tinggal 20%
  Tenggat Pendaftaran Perkara 3 Hari, UU Pilpres Digugat
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2