PRANCIS, Berita HUKUM - Ratusan ribu orang turun ke jalan-jalan di pusat ibu kota Prancis, Paris, hari Minggu (11/1) mengikuti aksi persatuan dan penentangan terhadap serangan mematikan pekan lalu yang dituding dilakukan oleh ekstremis Islam. Keluarga dari 17 korban antara lain memimpin salah satu aksi di Paris.
Puluhan pemimpin dunia juga ambil bagian dan mereka saling bergandengan tangan. Warga menyanyikan lagu kebangsaan Prancis dan secara spontan bertepuk tangan.
Operasi pengamanan yang belum pernah terjadi sebelumnya diterapkan ditandai dengan pengerahan tambahan polisi dan tentara.
Anggota pasukan khusus terlihat berjaga-jaga di sejumlah atap gedung.
Kekerasan berawal Rabu lalu ketika mingguan satire Charlie Hebdo diserang dan berakhir dengan dua penggerebekan di dan sekitar Paris.
Selain di Paris, aksi serupa juga digelar di Brussel, London, Madrid, Kairo, Sydney, Tokyo, dan beberapa kota besar lain di dunia.
Serangan ekstremis Islam di Paris menunjukkan bahwa Prancis mungkin perlu memikirkan ulang skema operasi intelijen mereka, kata Camille Grand, ahli pertahanan dan Direktur Yayasan Penelitian Strategis di Paris.
Prancis memiliki salah satu komunitas Muslim terbesar di Eropa, mayoritas warga Muslim hidup damai di negara tersebut, dimana mereka berbagai nilai dan cara hidup.
Jumlah minoritas yang signifikan diketahui memiliki penafsiran terhadap Islam yang lebih keras. Tetapi lebih banyak Muslim yang konservatif, dan hanya sedikit yang merupakan golongan Islam yang keras.
Hanya sebagian dari Muslim Prancis tinggal dalam komunitas yang memiliki pandangan hidup yang jauh berbeda dengan mereka – fenomena sama yang dapat dilihat di komunitas lain di Eropa.
Prancis telah berurusan dengan kelompok radikal Islam selama dua dekade terakhir, sejak konflik Aljazair menjangkau Paris dengan pemboman pada tahun 1995-1996. Sebab itu, Prancis memiliki pengalaman panjang dalam mengawasi kelompok radikal Islam.
Sistem hukum anti-terorisme yang diberlakukan di Prancis termasuk tegas dan memungkinkan penyelidikan dan pengadilan pada tahap awal. Data yang diperoleh dari intelijen asing dan domestik selama beberapa tahun terakhir telah memprioritaskan ancaman dari pejuang radikal.
Asumsi mengatakan bahwa negara tersebut telah sukses mencegah serangan terror dalam jumlah signifikan sebelum ini.
Meskipun itu, seperti yang ditunjukkan serangan minggu ini, masih terdapat beberapa celah dalam sistem pengawasan ini.
Celah-celah seperti ini memang tidak susah dipantau tanpa mengubah negara Prancis menjadi negara kepolisian.
Dalam konteks ini, masalah utamanya adalah fakta bahwa teroris yang baru-baru ini melakukan serangan di Prancis memiliki latar belakang sebagai pejuang di negara lain, atau setidaknya telah tinggal di Suriah dan Yaman.
Jumlah warga asal Prancis yang pergi ke Suriah dan Irak cukup banyak, dan negara ini saat ini menghadapi masalah keamanan ketika ratusan dari mereka kembali pulang.
Upaya untuk mencegah ekstremis tersebut bergabung dengan kubu pejuang di negara lain menimbulkan masalah baru, yaitu dengan calon jihadis yang tinggal di negara Prancis.
Serangan minggu ini masih harus dianalisis secara rinci untuk mengetahui latar belakang yang dan jaringan teroris yang bersangkutan – namun satu hal yang jelas adalah bahwa Perancis, seperti negara demokrasi di Eropa lainnya, menghadapi tantangan keamanan jangka panjang.
Untuk mengatasi tantangan itu, negara-negara tersebut harus mendekati komunitas Muslim yang tinggal disana dengan damai – dan itu hal yang sulit dilakukan ditengah ketegangan ekonomi dan sosial.
Tantangan ini juga harus dihadapi dengan komitmen untuk tindakan tegas terhadap minoritas yang menyebarkan pesan kekerasan, tugas yang mungkin memerlukan pembenahan sistem intelijen dan anti-terorisme Prancis.(BBC/bhc/sya) |