JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Maraknya tawuran antarwarga menjadi perhatian serius Pemprov DKI Jakarta. Riset penanganan tawuran atau konflik di Jakarta telah dilakukan para pakar sosiologi. Hasilnya, telah disimpulkan upaya penyelesaian tawuran atau konflik harus berdasarkan basis komunitas.
“Saya kira itu prinsip yang sedang saya jalankan sekarang. Kami sedang fokus untuk merubah semuanya dengan mengarah pada basis komunitas,” kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, usai menerima sosiolog Imam B Prasodjo, Paulus Wirutomo dan Musni Umar di Balaikota, Selasa (11/10). Mereka datang untuk memberikan hasil riset atas maraknya konflik tersebut.
Menurut Foke—sapaan akrab Fauzi Bowo, pencegahan tawuran dilakukan dengan berbasis komunitas, lebih meminta keterlibatan masyarakat, baik itu dari sisi aspirasi, partisipasi maupun inisiatif masyarakat untuk mencegah tawuran atau konflik. Sistem ini akan dituangkan dalam program jangka pendek dan jangka panjang.
Pendekatan ini dipandang paling tepat sasaran karena sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam komunitas tersebut. “Untuk program jangka pendek sudah dibuatkan poin-poinnya. Sedangkan program jangka panjang bisa dilakukan seperti pembukaan lapangan kerja, penambahan keterampilan dan perbaikan kualitas lingkungan,” ujarnya seperti dilansir laman Berita Jakarta.
Namun untuk mengkonkretkan hasil riset ketiga pakar tersebut, menurutnya perlu diadakan satu pertemuan lagi untuk merumuskan apa saja yang harus dilakukan dalam upaya mencegah tawuran atau konflik beserta batas waktu pelaksanaan program tersebut. Setelah itu, akan ditindaklanjuti dengan program-program peningkatan interaksi pencegahan tawuran atau konflik. “Kalau bisa akhir tahun ini kita laksanakan. Tetapi memang harus ada pertemuan lagi untuk merinci apa yang harus dilakukan dan siapa yang akan melakukan,” ungkapnya.
Selain itu, Foke juga merasa perlu dilakukan pendampingan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini terlibat tawuran warga. Pendamping yang dimaksud harus jelas tugas, fungsi, dan kriterianya. “Kalau perlu pendamping itu harus berada di tempat 24 jam sehari,” imbuhnya.
Dia juga memerintahkan agar seluruh gedung sasana krida di wilayah yang jumlahnya cukup banyak dan terletak di lokasi strategis, agar segera direhabilitasi dengan program yang harus melibatkan sebanyak mungkin remaja dan pemuda. “Kepada lurah dan camat agar generasi muda harus diberi porsi dan peran yang lebih aktif,” tuturnya.
Sementara Sosiolog Paulus Wirutomo yang melakukan penelitian di Joharbaru, mengatakan tawuran yang terjadi di Joharbaru lebih merupakan penyakit sosial dari pada kriminalitas yang bukan terjadi tanpa sebab, tetapi multi sebab. Ia melihat, strategi yang perlu dikembangkan untuk menyelesaikan persoalan tawuran antara lain melakukan pendidikan dan pelatihan atau program lain yang bersifat melatih dan mendidik warga sebagai wujud pembangunan komunitas.
Sedangkan sosiolog Imam B Prasodjo mengingatkan, pentingnya pelibatan masyarakat dalam proses penyelesaian tawuran warga. Menurut dia, keberadaan tempat koordinasi secara informal yang berfungsi sebagai pusat-pusat aktivitas kegiatan komunitas yang berkonflik sangat penting. Selain itu perlu juga dibentuk jejaring pada masing-masing wilayah dan antar wilayah untuk penanganan dan mediasi konflik.(bjc/irw)
|