JAKARTA, Berita HUKUM - Selama puluhan tahun rakyat dijejali doktrin, tidak mungkin Indonesia akan maju tanpa utang dan modal asing. Doktrin ini terus dipompakan secara berkelanjutan kepada para mahasiswa di fakultas ekonomi, khususnya di universitas-univesitas negeri. Padahal, banyak contoh negara yang bisa maju tanpa utang dan bergantung pada modal asing. Ekonomi harus dibangun dengan landasan nasionalisme yang kokoh.
“Doktrin ini sangat menyesatkan. Banyak contoh negara yang mampu maju dan rakyatnya sejahtera tanpa utang dan bergantung pada modal asing. Jepang berkembang tanpa utang luar negeri dan modal asing sampai tahun 1986, China tumbuh pesat tanpa utang. Kedua negara tersebut bisa menjadi raksasa ekonomi dunia. Bahkan China mampu memumpuk cadangan devisa lebih dari US$3 triliun dolar dan memberi utang kepada banyak negara maju, termasuk Amerika Serikat,” ujar Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, DR Rizal Ramli saat berbicara pada Dialog Kebangsaan bertema Indonesia Sebagai Kekuatan Baru Ekonomi Global di Masa Depan yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Universitas Hasanuddin, Makassar, Sabtu (15/2).
Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu, Jepang perlu waktu 25 tahun untuk bangkit dari kekalahan perang Asia Timur Raya. Sedangkan Malaysia membutuhkan waktu 20 tahun untuk menjadi negara sejahtera. China perlu 15 tahun. Bahkan, Brazil hanya perlu 8 tahun menjadi negara paling hebat di Amerika Latin.
“Ke depan pembangunan ekonomi Indonesia harus berdasarkan nasionalisme. Mazhab ekonomi nasionalisme akan memacu bangsa dan rakyat Indonesia berdaulat atas negara dan sumber daya alam (SDA)-nya. Kita tidak anti asing dan modal asing. Yang kita tidak mau, kalau asing mengendalikan dan mengeksploitir ekonomi kita,” tukasnya.
Sayangnya, lanjut Peserta Konvensi Rakyat Capres 2014 yang akrab disapa RR1 tersebut, selama puluhan tahun pemerintah lebih suka menerapkan sistem ekonomi neoliberalisme. Sistem ekonomi yang menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar itu ternyata tidak membawa kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya, lebih dari 80% rakyat Indonesia hingga kini belum menikmati arti kemerdekaan yang sebenarnya.
“Hal ini disebabkan karena banyak UU dan peraturan pelaksananya dipesan, dibuat draftnya, dan dibiayai oleh asing. UU No. 22/2001 tentang Migas, misalnya, adalah bukti nyata bagaimana Indonesia tidak berdaulat atas SDA karena UUnya dipesan asing. Soal gas, UU mengharuskan penggunaan untuk kebutuhan local maksimal hanya 25%. Sisanya harus diekspor. Akibatnya, banyak perusahaan di dalam negeri tutup karena harus membayar energi lebih mahal. Di pasar domestik rakyat juga harus membayar mahal gas yang dibutuhkan,” papar Capres paling reformis versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) itu.
Terkait kedaulatan ekonomi, Menteri Keuangan era Gus Dur itu menyebut hingga kini tidak kurang ada 20 UU yang dipesan asing. Jika Indonesia mau maju, seluruh UU pesanan asing itu harus dibatalkan, dan segera diganti dengan UU yang lebih sesuai dengan konstitusi Indonesia.
“Persyaratan utama yang bisa membuat kita maju adalah, pemimpinnya harus percaya diri. Pemimpin tidak boleh bermental inlander. Pemimpin juga harus punya visi, karakter, dan kapasitas untuk memecahkan masalah. Rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang sibuk melakukan politik pencitraan tanpa karya nyata,” pungkas Capres paling ideal versi The President Centre ini.(rr1/edy/rp/bhc/sya)
|