BANDUNG, Berita HUKUM - Presiden Indonesia ke depan harus mampu menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya agar rakyat memiliki penghasilan guna memenuhi kebutuhannya. Besarnya pengangguranlah yang menyebabkan 80% rakyat Indonesia belum menikmati arti kemerdekaan yang sebenarnya.
“Pemerintah selalu mengklaim pengangguran kita hanya 6%. Apa benar begitu? Apa parameter yang digunakan untuk mengukur, sehingga angka 6% itu muncul? Amerika saja penganggurannya 8%. Eropa 20%. Bahkan Italia dan Yunani sampai 25%. Kalau digunakan standar international, bahwa hanya mereka yang bekerja minimal 35 jam seminggu saja yang disebut bekerja, maka angka pengangguran Indonesia mencapai 30%,” papar Capres paling ideal versi Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Rizal Ramli saat memberi Orasi Ilmiah bertema “Prospek Ekonomi Indonesia Masa Depan” di kampus Yayasan Pendidikan al Ma'soem, Rancaekek, Bandung, Sabtu (22/2).
Untuk bisa menyerap pengangguran sebanyak-banyaknya, lanjut Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu, Indonesia harus mampu tumbuh dua dijit sedikitnya selama 10 tahun. Inilah yang dilakukan China yang tumbuh 12-14% selama 12 tahun, Jepang 10%, dan sejumlah negara maju lainnya. Dengan hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5-6,%, dipastikan Indonesia tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju.
Dalam ekonomi makro, tiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menyerap 400.000 tenaga kerja baru. Jika hanya tumbuh 6%, maka tenaga kerja yang terserap hanya 2,4 juta. Padahal, saat ini pertumbuhan pengangguran baru sekitar2 juta setiap tahun.
“Sudah saatnya kita tidak bangga dengan pertumbuhan 6%. Apalagi pertumbuhan itu ditopang dua faktor eksternal, yaitu harga booming komoditas dan masuknya uang panas di pasar finansial. Begitu harga komoditas terkoreksi, dan uang panas berbalik ke negaranya masing-masing, maka kita mengalami empat defisit sekaligus. Yaitu defisit transaksi pembayaran, defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, dan defisit APBN karena jebloknya penerimaan pajak. Ekonomi kita langsung memasuki ‘lampu kuning’,” ungkap Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini.
Menurut dia, kalau Indonesia mau menjadi negara maju dan rakyatnya sejahtera, pemimpinnya harus canggih. Pemimpin yang memiliki visi, karakter, dan kompetensi memecahkan masalah, bukan justru pemimpin yang menjadi bagian dari masalah. Hanya pemimpin yang mau bekerja dengan seluruh hati dan jiwanya yang bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Indonesia yang berdaulat dan dihormati bangsa-bangsa lain.
“Indonesia punya semua persyaratan untuk maju dan digdaya. Kalau 80% rakyat kita belum menikmati arti kemerdekaan yang sesungguhnya, itu karena pemerintah dan sistem yang diterapkan tidak memihak rakyat. Bahkan kebijakan yang dihasilkan justru menciptakan kemiskinan structural. Apakah kita harus mendiamkan saja pemerintah yang seperti ini?,” tukasnya yang disambut koor ‘tidaaaak…’ panjang dari audiens.
Menyikapi materi orasi Rizal Ramli yang lumayan kritis tadi, pendiri al Ma’soem Grup, Nanang Ma'soem, dengan santai menyatakan tidak masalah. “Saya malah heran kalau ada orang yang marah karena dikritik, apalagi sampai menyampaikan somasi segala. Saya menjadi seperti ini justru karena kritikan banyak pihak. Lagi pula, memangnya kenapa kalau kita bicara keras? Di sini kampus, siapa saja boleh bicara,” kilahnya ringan.(rp/edy/bhc/sya)
|