DEPOK, Berita HUKUM - Para kyai da ulama ummat diminta berhati-hati dalam memilih pemimpin nasional. Sebagai panutan, para kyai harus bisa memilih pemimpin yang mampu memecahkan masalah, bukan justru menjadi bagian dari masalah. Dengan mengambil momentum Pemilu, inilah waktunya para kyai dan ulama berdiri tegak, saling berpegang tangan untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan yang lebih dalam lagi.
“Dalam 10 tahun terakhir ekonomi Indonesia tumbuh dengan semu. Pertumbuhan itu ditopang oleh harga komoditas yang bagus di pasar internasional dan arus masuk dana di pasar finansial. Begitu harga komiditas jatuh dan uang di pasar keuangan berbalik, maka ekonomi kita masuk ke area ‘lampu kuning’. Sudah saatnya para kyai dan ulama mengambil peran sentral untuk menyelamatkan Indonesia agar kembali ke ‘lampu hijau’,” papar ekonom senior DR Rizal Ramli, saat bicara di Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan tentang Keagamaan, Keutamatan, dan Kebangsaan, di Pesantren Al Hikam, Depok, Sabut (8/2)
Menurut penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa tersebut, selama ini rakyat dininabobokan dengan mitos tingginya pertumbuhan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk pertumbuhan per kapita (GNP) berkisar 5,5%-6%. Faktanya, rakyat tidak membutuhkan ekonomi makro. Tingkat sukses ekonomi sebuah negara sejatinya diukur dari indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI).
“GNP kita saat ini memang US$3.500. Tapi itu adalah angka rata-rata. Kenyataannya 80% lebih rakyat kita masih miskin. 80% rakyat Indonesia belum merasakan arti kemerdekaan. Rakyat butuh yang lebih konkrit, yaitu kesejahteraan. Ukurannya adalah sandang, pangan, perumahan, dan pekerjaan. Untuk HDI ini, ternyata Indonesia termasuk yang paling rendah di kalangan negara-negara ASEAN. Ini tugas sejarah kita semua, khususnya para kyai dan ulama untuk melanjutkan perjuangan Soekarno dan para bapak pendiri bangsa lainnya,” ungkap Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Sebelummya pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Kyai Hasjim Muzadi mengatakan, selama ini para kyai dan ulama tidak mendapat informasi yang cukup tentang kondisi Indonesia yang sebenarnya. Kendati demikian, mereka merasakan kegelisahan rakyat yang sebagian besar adalah ummat Islam. Ummat yang miskin tidak tahu, apakah mengapa mereka miskin karena takdir atau memang dimiskinkan.
“Melalui Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan ini diharapkan para kyai dan ulama menjadi lebih paham kondisi yang sebenarnya. Dengan well informed, kyai dan ulama memiliki kekuatan dahsyat untuk melakukan perubahan. Selama ini kyai dan ulama diam karena tidak tahu. Ini tidak boleh terjadi, karena mereka bisa tergerus karena kebutuhan. Kalau sudah begiu, mereka memang masih ‘macan’. Tapi ‘macan sirkus’ yang sama sekali tidak menakutkan yang bahkan cuma dimanfaatkan para politisi untuk kepentingan sesaat mereka belaka,” ungkap Kyai Hasjim.
Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan berlangsung pada 7-9 Februari 2014. Acara ini diikuti 300an kyai dan ulama dari berpengaruh seluruh Indonesia. Kyai Hasjim mengaku para undangan adalah kyai dan ulama yang telah dipilih belum ‘masuk angin’ oleh kepentingan politik pragmatis. Hadirin yang sebagian mengenakan sarung dan baju koko itu tampak serius menyimak paparan para pembicara.
Tampaknya harapan kyai Hasjim menjadi kenyataan. Seorang ulama dari Sidoarjo, Jawa Timur, mengaku mendapat banyak masukan berharga tentang kondisi riil Indonesia terkini. Kesibukannya sehari-hari dalam mengasuh pondok pesantren di daerah, tidak memungkinkan dia menerima info sebenarnya.
“Saya sangat bersyukur diundang di sarasehan ini. Saya baru tahu, ternyata ekonomi kita selama ini salah urus. Padahal, dengan kekayaan alam yang begitu melimpah, rakyat Indonesia, khususnya ummat Islam bisa hidup dengan sejahtera. Ke depan kita membutuhkan pemimpin yang benar-benar paham persoalan dan tahu bagaimana memecahkannya dengan tepat dan cepat,” ujar seorang kyai dari Kalimantan Barat.(edy/bhc/sya)
|