JAKARTA, Berita HUKUM - Selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai dari kuartal empat 2014 hingga kini, rupiah sudah terdepresiasi sebesar kurang lebih 20 persen. Dilansir kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) di laman bi.go.id Rupiah di atas Rp 15 ribu per dollar AS. Pada Kamis ini, Rupiah di posisi Rp 15.133 per dolar AS.
Pada perdagangan di pasar spot 2 atau perdagangan valuta asing September 2018, pelemahan kurs rupiah tercatat sebagai yang paling besar di antara mata uang Asia lainnya. Meskipun mata uang lainnya juga melemah namun tidak signifikan.
Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan, Heri Gunawan mengingatkan pemerintah tidak bisa terus menyalahkan faktor eksternal, namun tidak transparan tentang kondisi fundamental perekonomian nasional.
"Ada sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan, pertama BI sudah tidak mampu lagi terus menerus melakukan intervensi terhadap Rupiah. Cadangan devisa kami perkirakan turun menjadi 116,5 miliar dollar minggu ini. Jika cadangan devisa terus digunakan untuk intervensi Rupiah, akan berbahaya bagi ekonomi secara keseluruhan," kata Heri melalui siaran persnya, Kamis (4/10).
Yang kedua, kata dia, harga minyak dunia (brent crude) telah menyentuh angka 86 dollar per barrel hari ini. Efeknya ada pada kenaikan nilai defisit impor migas. Kenaikan harga minyak ini diprediksi terus berlangsung hingga mencapai 100 dollar per barrel dalam beberapa bulan ke depan.
"Akibatnya, nilai tikar Rupiah juga makin tertekan seiring naiknya harga minyak," ucapnya.
Untuk yang ketiga, menurut Heri, kecanduan pemerintah terhadap utang asing dalam denominasi dollar masih belum juga sembuh. Yang terbaru, pemerintah berupaya mendapatkan pinjaman dalam meeting IMF-WB nanti sebesar 2 miliar dollar.
"Juga utang untuk membeli 51% saham Freeport yang akan dilewatkan 11 bank asing," ujarnya.
Sedangkan yang keempat, politisi Partai Gerindra ini mengatakan, kebijakan pengurangan impor 900 barang ternyata tidak berdampak signifikan. Begitu juga dengan kebijakan konversi B20 atau pencampuran biodiesel.
"Pemerintah gagal mengeksekusi kedua kebijakan tersebut dengan baik," kata Heri.
Heri menambahkan, sebaiknya ada koordinasi yang konkret dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pemerintahan Jokowi. "Buktikan dengan kerja nyata bukan kerja kata, karena pada dasarnya, faktor psikologis dalam soal moneter itu sangat dominan," tandas Heri.(ar/ra/bh/sya)
|