JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Kapolri Jenderal Pol. Timur Pradopo dianggap layak untuk dicopot dari jabatannya. Pasalnya, sebagai pucuk pimpinan institusi penegak hukum, dia tak memapu memberikan perlindungan hukum kepada rakyat. Justru di bawah kepemimpinannya tersebut, jajaran kepolisian kerap melakukan berbagai kekerasan terhadap masyarakat di sejumlah daerahnya.
“Sepanjang 2011, aksi kekerasan kerap dilakukan aparat kepolisian terhadap masyarakat. Hal ini menunjukan ketidakmampuan Kapolri mengintruksikan jajarannya untuk menjaga kondisi keamanan. Presiden SBY sudah sepatutnya melakukan evaluasi terhadap kinerja Kapolri," kata anggota Komisi III DPR asal Fraksi PKS, Aboe Bakar Al Habsy kepada wartawan di Jakarta, Rabu (28/12).
Atas dasar tersebut, lanjut dia, SBY sudah sepantasnya mencari dan menyiapkan pengganti Timur Pradopo sebagai Kapolri. Terlihat dalam bentrokan di Pelabuhan Sape, Bima, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), pengamanan aksi massa tidak sesuai aturan yakni Protap Nomor 1 Tahun 2010 Penanggulangan Anarki.
"Polisi terlalu terburu-buru bilang itu sesuai Protap. Padahal, harus diinvestigasi dulu bentrokan itu. Apalagi dalam video jelas menggambarkan tindakan represif polisi menghadapi warga. Timur Pradopo gagal mendendalikan anak buahnya di lapangan yang bertindak semena-mena terhadap warga," jelas nya.
Pernyataan serupa disampaikan Direktur eksekutif Imparsial, Poengky Indarti. Menurut dia, Timur Pradopo telah gagal dalam tugasnya sebagai Kapolri, karena sepanjang 2011 ini, tindak kekerasan yang terjadi anak buahnya di sejumlah daerah meningkat tajam.
"Yang menjadi record dalam kepemimpinan Timur Pradopo adalah meningkatnya kekerasan. Untuk itu presiden harus mencopot Kapolri, agar pada 2012 tidak terjadi lagi kekerasan. Ini desakan serius dan Presiden SBY jangan berlaga tidak dengar,” tegasnya.
Imparsial mencatat beberapa tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Peristiwa di Bima, Papua dan pembiaran polisi dalam penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik dan konflik agraria di Mesuji. Eskalasi tindak kekerasan dipastikan akan semakin meningkat di tahun depan. Terutama, yang berhubungan dengan konflik agraria. "Untuk itu Presiden harus menyikapi konflik agraria lebih serius. Jika tidak, pada 2012 akan semakin berdarah-darah," ujarnya.
Penanganan Polisi dalam konflik dan aksi unjuk rasa juga dilihat sebagai salah satu masalah besar. Protap Nomor 1 tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki kerap dijadikan dalih pembenaran polisi untuk melakukan tindak kekerasan seperti di Bima. "Padahal, aparat seringkali menyalahgunakan kekuasaannya dan melakukan hubungan kotor dengan para pemodal dan penguasa untuk melakukan penggusuran tanah rakyat," tukasnya.
Sedangkan Direktur Program Imparsial, Al araf menyatakan bahwa penentangan masyarakat atas pengangkatan Timur Pradopo sebagai Kapolri, tidak pernah diperhatikan Presiden SBY. Kini terbukti bahwa di bawah Timur, kepolisian erat dengan tindak kekerasan.
"Dulu ketika mau diangkat, sebagian masyarakat sipil menolak Timur dengan refleksi dugaan pelanggaran HAM Trisakti dan Semanggi. Setelah 1,5 tahun memimpin Polri, terlihat wajah militeristik kepolisian di bawah kepemimpinannya. Sekarang ini, polisi kerap gunakan pendekatan represif ketimbang persuasif ," jelas Al Araf.
Atas dasar tersebut, alnjut dia, pihaknya meminta negara donor untuk segera melakukan evaluasi secara keseluruhan terhadap pendanaan bagi kepolisian. "Sudah saatnya bagi negara donor yang menghentikan pemberian bantuan. Reformasi kepolisian justru malah mengubah polisi makin militeristik,” tegasnya.(dbs/rob/wmr)
|