JAKARTA, Berita HUKUM - Rouf Qusairi, Ketua umum Social Media for Civic Education (SMCE) menyampaikan bahwa dewasa ini fenomena yang menjadi issue cukup krusial, munculnya radikalisme, separatisme dan komunisme, saat membuka sekaligus moderator diskusi publik bertajuk "Optimalisasi Peran Pers Melalui Literasi Media dalam Menangkal Propaganda Radikalisme, Separatisme, dan Komunisme" yang digelar oleh SMCE pada di Hall Gedung Dewan Pers. Kebun Sirih, Jakarta, Kamis (23/2).
"Marak memang fenomena ini di tengah-tengah masyarakat, selain itu pula pembahasan mengenai media, yang tupoksinya berperan penting bagi pemerintah, tentunya berperan edukasi, serta turut mengawal pula kebijakan pemerintah bahkan kebijakan publik lainnya," ungkap Rouf Qusairi.
Pantauan pewarta BeritaHUKUM.com dilokasi acara turut hadir dalam sesi diskusi itu, para pembicara selaku narasumber; Budi Purnomo sebagai Pemred salah satu media, Joseph Adi Prasetyo selaku Ketua Dewan Pers, Margiono sebagai Ketua PWI Pusat, Drs. Gun Gun Siswandi Msi sebagai perwakilan Kemenkominfo (Kepala Pusat Komunikasi dan Media Massa Kemenkominfo).
Patut digarisbawahi, kondisinya saat ini dibutuhkan literasi media terkait berbagai aktivitas dengan bagaimana membangun sikap kritis terhadap media dalam memahami secara kritis mampu menganalisis, memahami, dan mendekonstruksi pencitraan media.
Lalu, lebih lanjut Joseph Adi Prasetyo selaku Ketua Dewan Pers menuturkan bahwa, di dunia ini, dimana kondisinya ada Pemilu dan Pilkada atau bahkan paslon acapkali berebut datang ke kantor redaksi atau ke forumnya. "Baik itu alasannya membangun tali silaturahmi, padahal tanpa perlu didatangi, sebenarnya wartawan sudah tahu," tukasnya.
Bahkan, Joseph pun seraya menjelaskan, keunikan yang pernah terjadi bila flash back, dimana 3 jam setelah Quick Count sempat di media yang satu 'selamat datang Pemerintahan Jokowi-JK', lalu setengah jam kemudian 'selamat datang Pemerintahan Probowo-Hatta'. "Wah, negara saya punya dua (2) kepala negara dong," lirihnya mengutarakan.
Namun, sambung Joseph mengatakan bahwa sementara itu, "medsos tetap menjadi tawaran alternatif masyarakat umum. Ibaratnya, tukas dia menuturkan kalau mengirim berita ke grup, apakah sudah terverifikasi atau belum ? di dalam sesama grup ada kadang kala 'penyusup' yang menyamar menggunakan 'akun gelap', padahal kan itu masih sebatas 'informasi'," tandasnya.
"Hingga dahulu medsos digunakan mengingat komunikasi, kenangan masa lalu, dan sharing kehidupan pertemanan menjalin silaturahmi satu sama lain. Namun, kini medsos digunakan menancapkan 'bendera' atau pandangan politik individu, kadang berubah fungsi menjadi penyebar hoax," bebernya, yang kadang kala membuat ketidaknyamanan dan merasa terganggu.
Bahkan bila ditarik paramaeter tertentu, tukas Ketua Dewan Pers itu menyebutkan, dari sebanyak semisal 363 wartawan se-Indonesia yang diambil sampling, 85% nya kebanyakan saat ini menggunakan smartphone menulis hari ini. "Patut dan penting dipahami bahwa pencarian dalam search engine itu akan berpengaruh terhadap algoritma mesin pencari," tukasnya mengingatkan.
Maka itulah, dewan pers saat ini sedang menjalankan filterisasi serta verifikasi media pemberitaan untuk memastikan mana saja media massa yang profesional dan yang abal-abal. Dalam verifikasi itu, Dewan Pers memberikan label QR Code untuk media yang lolos verifikasi.
Sementara itu, Budi Purnomo berpendapat bahwa apabila menelusuri dari media sendiri sejatinya dua (2) hal aturan berlaku baik dari aturan kode etik jurnalistik, selain itu berita sifatnya independen sesuai dengan berita yang diberitakan.
"Bagaimana sumber informasi itu dimunculkan di masyarakat oleh pemerintah. Sepanjang informasi banyak, tentunya akan diinformasikan oleh media," ungkapnya.
Ia menekankan kalau fungsi dan peran media adalah untuk sosialisasi, bahkan kadangkala kampanye. Terkait kebijakan, apakah pemerintah sudah mensosialisasikan sebelumnya? ini lebih banyak dari tanggungjawab pemerintah. Kalau ini bisa dijalankan, maka berita tentang radikalisme, separatisme dan komunisme bisa dihindari. Pemerintah juga bisa menyingkirkan berita negatif, namun bisa menyiarkan pemberitaan yang lebih positif dan bertedensi secara temanya.
"Itulah hal itu yang bisa mendasarkan, maka itulah media dapat mendukung pencegahan paham-paham radikalisme, separatisme dan komunisme yang telah terliterisasi oleh pihak Pemerintah," jelasnya.
Sedangkan, Margiono sebagai Ketua PWI Pusat menyatakan, "Apabila dewasa ini ada dan timbul pemikiran bahwa rakyat masih bego (bodoh), terus yang pintar siapa? Dewan Pers, PWI, Kemenkominfo?.. belum tentu juga," tukasnya.
Margiono pun mempertanyakan literasi media itu sebenarnya untuk siapa, lalu kemudian apabila ada pemikiran literasi bakal bertujuan untuk mencerdaskan rakyat?. Informasi yang tidak benar itu, bukan rakyatnya yang tidak cerdas.
"Kepentingannya bukan ideologi, namun pengkalannya bukan hanya sekedar jargon belaka, namun lebih ke isi dan konten berita dong. Informasinya yang mestinya berkualitas dan mampu terserap masyarakat," tandasnya.
Lalu, perlawanan terhadap Hoax jadi isu global. Penyelesaiannya tak harus digagas oleh pemerintah, tetapi bisa juga mengadopsi cara penyelesaian di luar pemerintah. "Komunikasi pun dilakukan pemerintah, lewat Kominfo, dengan berbagai pihak dari luar, seperti Facebook dan Google. Kerja sama dilakukan untuk menyaring konten dan beragam informasi," papar Gun Gun Siswandi Msi perwakilan Kemenkominfo (Kepala Pusat Komunikasi dan Media Massa Kemenkominfo)
Terkait regulasi peredaran informasi supaya menjadi tidak "liar", Kepala Pusat Komunikasi dan Media Massa Kemenkominfo menyebutkan dapat dilakukan sesuai koridor UU 40/1999 tentang Pers. Sanksi bagi penyebar informasi hoax tercantum dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Namun, pemerintah kini fokus pada 'hulu', bukan hanya pembatasan atau pemblokiran tapi lebih kepada literasi masyarakat. Makanya kami mendorong, mempromosikan semua lapisan masyarakat, memiliki etika bagaimana memanfaatkan media sosial," pungkasnya.(bh/mnd)
|