JAKARTA, Berita HUKUM - Said Iqbal sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Organisasi terbesar buruh di Indonesia merespon pernyataan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Republik Indonesia, Hanif Dakhiri yang menyatakan bahwa pemerintah telah memutuskan kenaikan upah minimun tahun 2017 sebesar 8,25%.
Sebagaimana Hanif Dakhiri, dalam Rapat Kerja Nasional soal UMP 2017, di Kementerian Ketenagakerjaan di Jakarta mengatakan, "Jadi total kenaikan 8,25%. Itu jangan dibulatkan ke bawah dan ke atas. Aturan ya aturan, tidak ada toleransi lagi. Mohon bantuan kepada dinas supaya formula itu fix," tegas Hanif, Selasa (25/10).
Organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia merasa kalau pernyataan Hanif jelas telah melanggar UU No 13 Tahun 2003 Pasal 88 dan 89, karena penetapan upah minimum ditetapkan oleh Gubernur.
Para buruh mengecam keras pernyataan Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dakhiri tersebut. Sementara itu dalam Permenaker disebutkan bahwa, penetapan kenaikan upah minimum tersebut dinyatakan oleh Gubernur 60 hari sebelum berlaku upah minimum 2017 yang baru (jatuh pada tgl 1 November).
"Jadi jelas, penetapan kenaikan upah minimum 2017 dilakukan oleh Gubernur pada 1 November 2016. Bukan oleh Menaker." tegas Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta.
"Pernyataan Menaker ini provokatif, menabrak UU. Sehingga terlihat sekali figur Menteri yang tidak paham Undang-Undang dan takut kehilangan jabatan, sehingga berupaya menekan Gubernur seolah-olah sebagai bawahannya. Juga "abuse of power" hanya karena ketakutan yang berlebihan dan tidak menghormati hak Gubernur untuk menetapkan Upah Minimum," terang Said.
Said Iqbal juga menyampaikan, pernyataan Hanif justru memancing aksi buruh yang lebih masif, karena jelas sekali Menaker melindungi kepentingan para pemodal dengan berlindung dibalik PP No 78 Tahun 2015.
"Jelas sekali sejarah akan mencatat sepanjang indonesia. Menaker inilah yang paling bertanggung jawab terhadap kembalinya rezim upah murah dan memiskinkan buruh miskin melebihi rezim Soeharto."
"Oleh karenanya buruh menuntut sebaiknya Menaker mundur dan meminta dengan segala hormat agar para Gubernur dan Bupati memutuskan upah minimum yang layak demi mengejar ketertinggalan dengan upah buruh Vietnam, Malaysia, Philipina, Thailand, dimana usulan buruh kenaikan upah min 2017 sebesar Rp 650 ribu.
PP No. 78 Tahun 2015 hanya mengatur nilai paling minimal dalam menaikan upah minimal, dengan demikian tidak salah dan tidak melanggar aturan bila Gubernur dan Bupati/Walikota boleh menaikan nilai upah minimal diatas nilai yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut, demi meningkatkan kesejahteraan buruh di daerahnya masing-masing.
"Para Gubernur tidak usah dengerin Menaker yang tidak paham Undang-Undang dan berlagak mengancam seperti boss yang punya negeri ini," pungkas Said Iqbal.
Sementara, sebagaimana siaran pers KSPI yang diterima redaksi di Jakarta dari Narahubung; Kahar S. Cahyono menuliskan bahwa, "Tuntut Upah Naik 650 Ribu, Buruh Akan Demo di Seluruh Kabupaten/Kota Padat Industri"
Aksi-aksi buruh di berbagai Kabupaten/Kota akan terus dilakukan secara bergelombang untuk menuntut kenaikan upah minimum sebesar Rp 650 ribu, serta mendesak Gubernur serta Bupati/Walikota tidak menggunakan PP No 78 Tahun 2015. Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, apabila menggunakan PP No 78 Tahun 2015, berarti Gubernur/Bupati/Walikota melanggar UU No 13 Tahun 2003 Pasal 88 dan 89, dan ikut serta mengembalikan pada kebijakan upah murah sehingga upah buruh Indonesia makin murah dan terpuruk dibandingkan buruh Thailand, Vietnam, Philipina, dan Malaysia.
Sementara itu, di Jakarta, buruh meminta upah minimum 2017 naik menjadi Rp 3,831 juta. Buruh akan terus melakukan aksi di Balaikota seraya menyerukan Gubernur Ahok sebagai Bapak Upah Murah, karena upah minimum di Jakarta lebih kecil dibandingkan upah di Bekasi dan Karawang.
Aksi menuntut upah layak ini akan dilakukan terus-menerus. Aksi yang dilakukan akan makin membesar di berbagai daerah. Beberapa daerah yang sudah melakukan komfirmasi untuk melakukan aksi menuntut upah layak adalah Jabodetabek, Karawang, Serang, Cilegon, Purwakarta, SUbang, Cirebon, Cimahi, Bandung, CIanjur, Sukabumi, Semarang, Jepara, Kendal, Cilacap, Demak, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Jombang, Jogja, Aceh, Medan, Deli Serdang, Batam, Bintan, Karimun, Palembang, Jambi, Bengkulu, Pekanbaru, Lampung, Gorontalo, Makasar, Bitung, Manado, Sulbar, Palu, Kalsel, Kaltim, Maluku, dll. Di daerah-daerah itu, buruh akan melakukan aksi menuntut kenaikan upah minimum sebesar Rp 650 ribu.
Aksi upah sudah dimulai di DKI Jakarta, dan pada 27 Oktober ribuan buruh se Jawa Barat akan melakukan aksi di Gedung Sate. Pada saat yang sama, ribuan buruh di Banten juga akan melakukan aksi di Kantor Gubernur, yang disusul daerah-daerah lain.
Dalam aksi ini, buruh juga akan menyerukan agar buruh dan masyarakat memilih kepala daerah yang pro upah layak dan anti upah murah. Hal ini dilakukan demi meningkatkan daya beli sehingga menaikan angka konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
Bila aksi-aksi upah di daerah ini tidak digubris oleh pemerintah, maka buruh akan melakukan mogok nasional dakam bentuk unjuk rasa nasional dengan menyetop produksi.
Lawan upah murah yang menurunkan daya beli rakyat.(bh/mnd) |