JAKARTA, Berita HUKUM - Setiap bangsa memiliki sejarahnya masing - masing, baik atau buruknya, kegemilangan atau pun kehancuran. Namun rangkaian dari babakan sejarah itulah yang mampu membentuk sejarah hari ini.
Kenyataan, sejarah masa lalu cenderung diabaikan, bahkan mungkin berusaha dihilangkan dari ingatan kita, apalagi kenangan buruk. Padahal pengalaman apapun, baik suka dan duka tentunya bisa menjadi lompatan hidup untuk masa depan lebih baik.
Kesadaran inilah yang menjadi landasan terselenggaranya Pameran Penulisan yang bertajuk “Sejarah Untuk Hari Ini” yang sebagian besar adalah tugas akhir dari Peserta Kelas Dasar Penulisan angkatan I – IV (periode 2010 s/d 2012).
Kelas ini bagian dari upaya peningkatan daya kritis masyarakat melalui jurnalisme warga (citizen journalism) yang diselenggarakan secara gratis oleh Komunitas BauTanah Galeri Jalanan di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Dan diinisiasi oleh Salma Indria Rahman sebagai pengajar yang juga berprofesi sebagai travel&book writer.
Jika fotografi adalah kegiatan merekam cahaya, maka penulisan adalah merekam dengan kata - kata. Hal inilah yang dilakukan oleh peserta pameran secara intensif selama hampir dua bulan melakukan riset, wawancara dan observasi untuk merekam sesuatu, di mulai dari hal kecil yang ada di sekitarnya.
Kenyataan, hal kecil itulah menjadi bagian atau pun sisa sejarah di masa lalu, bahkan diantaranya masih bisa dijumpai saat ini. Adapun karya - karya penulisan yang dipamerkan ini sebagai respon atas “hal kecil” tersebut, yang sejatinya sungguh 'besar' di masa lalu.
Hal itu terekam pada karya Fariyanti bertajuk “Bemo, Riwayatmu Kini” sedangkan Wikan Satriati merekam tradisi gotong royong alias patungan yang dikemas dengan cara modern melalui website melalui artikel “Menjual Ide Sambil Patungan” bahkan kreativitas mengemas sejarah dituturkan Putri Ayusha dalam “Wisata Sejarah itu Gila.”
Tentu, tak ada salahnya kita merenung sejenak pada karya Wiwid Tri Laksono berjudul “Dan Mereka Mulai Bicara” tentang Jugun Ianfu, juga pada saat Suparibowo “Menelusuri Jejak Belanda Depok” termasuk yang dilakukan Wiwietz Dwi Widyastuti dalam dua karyanya saat mengulas “Jejak Portugis di Kampung Tugu” agar menjadi manusia bijak untuk menyikapi alam dalam “Hutan Mangrove Terakhir Jakarta”
Lain halnya dengan Akhmad Ikhwanul Muslimin mengangkat kembali kepopuleran komik lokal “Si Buta dari Goa Hantu” juga Wigianti dalam “Nostalgia di Balik Roti Gerobak Tan Ek Tjoan” yang marak era 60 - an. Alhasil, rasa ingin tahu jua membuat Henny Kartika ikut dalam eforia yang marak di kalangan anak muda melalui tulisannya berjudul “Capoeira, Tarian Beladiri Mematikan,” dan keinginan kembali ke alam melalui petualangan rasa ditemui Denis Codet dalam “Sajian Desa di Bukit Air Resto”
Paling tidak, ada tiga keistimewaan pada penyelenggaraan pameran ini. Pertama, selama ini jarang sekali atau hampir tidak pernah ada pameran dalam bentuk tulisan. Kedua, pameran ini melibatkan dan mengundang para nara sumber untuk hadir dalam pameran yang selama ini mungkin cenderung diabaikan setelah sebuah karya selesai dibuat. Ketiga, pameran ini pertama kali diselenggarakan oleh Kelas Dasar Penulisan BauTanah Galeri Jalanan sejak kelas gratis ini dibuka tahun 2010.
Saat pembukaan pameran nanti akan dihidangkan penganan Roti Tan Ek Tjoan berikut pedagang dengan gerobak rotinya dan angkutan Bemo yang notabene para nara sumber. Diharapkan pengunjung bisa bernostalgia dengan roti lokal yang masih bertahan di tengah gempuran roti mancanegara sambil naik bemo yang mungkin bagi kebanyakan anak muda Jakarta tidak mengetahui, apalagi naik angkutan yang kian langka ini.
Tak hanya itu, saat 'behind the scene” karya peserta, juga menampilkan para nara sumber sehingga para pengunjung bisa menggali info lebih dalam dan kritis merespon pada karya yang di pamerkan. Dan jangan lupa akan ada pertunjukan tarian beladiri Capoiera sekaligus menutup pameran ini.
Dalam acara ini, kami juga merangkul pecinta fotografi, khususnya menampilkan karya foto dari para pegiat Kamera Lubang Jarum yang notabene adalah produk masa lalu namun subyek foto yang direkam menampikan potret kehidupan masa kini dengan segala modernitasnya.
Terakhir, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para pihak yang membantu dan mendukung terselenggaranya acara ini, yaitu Purwo Subagyo dari Foto Kita - National Geographic Indonesia, lalu Hermien Y. Kleden - Tempo Group, Enrico Halim dan Aikon yang sudah menghadirkan bemo ramah lingkungan, desain tiket dan cap jempol 'gitu dong', juga Yayasan Lontar atas merchandise buku - buku berkualitas. Tak lupa desainer Cyprianus Jaya Napiun atas kebaikannya mendesain hasil karya peserta tampil memikat. Semoga kerjasama ini terus terjalin baik.
Sekilas BauTanah Galeri Jalanan. Ini merupakan tempat berkumpul, berbagi informasi, pengalaman, belajar bersama dan berekspresi dalam berbagai bentuk karya. Kini, BauTanah telah merespons ruang kota dengan aktivitas khas anak muda. Jalanan menjadi ruang ekspresi yang bersahabat, tak terbatas profesi hingga status sosial.
Digagas oleh Refi Mascot, seorang fotografer, yang pada tahun 2006 menggelar pameran fotografi di dinding trotoar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Dengan cara ini, sebuah karya seni bisa diakses oleh masyarakat secara luas, mulai dari pemulung, ibu - ibu habis belanja, sales marketing, mahasiswa, supir bajaj, anak jalanan, anak sekolah hingga eksekutif, semua bisa ikut menikmati, berapresiasi, bahkan aktif berpartisipasi.
Dalam perkembangannya, BauTanah Galeri Jalanan yang memiliki moto: “Satu Karya Loe Bikin Pintar Anak Bangsa!”, BauTanah Galeri Jalanan membuka kelas gratis untuk belajar bersama, di antaranya: Workshop Fotografi Dasar, Kelas Dasar penulisan, Workshop Komik, Kelas Bahasa Perancis Dasar, Kelas Dasar IELTS.(bhc/hms/rat)
|