JAKARTA, Berita HUKUM - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) kembali dimohonkan pengujian secara formil dan materiil. Kali ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan terhadap perkara yang dimohonkan empat ormas, diwakili oleh Tim Advokasi Ormas Islam Untuk Keadilan, Senin (7/8) lalu di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang pendahuluan, para Pemohon, yakni Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia; Yayasan Forum Silaturrahim Antar-Pengajian Indonesia; Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia; dan Perkumpulan Hidayatullah serta perseorangan warga negara Indonesia, yakni Amril Saifa; Zuriaty Anwar; Muhclis Zamzami Can; Munarman; Chandra Kurnianto menilai Perppu Ormas tidak ditetapkan berdasarkan UUD 1945. Secara materiil, para Pemohon menilai Pasal 1 angka 6 s.d. 22, Pasal 59 ayat (4) huruf c, Pasal 80A ayat (1) dan ayat (2) Perppu Ormas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Diwakili Rangga Lukita, para Pemohon menyampaikan bahwa hak konstitusionalnya dilanggar dengan pemberlakuan Perppu. Sebab, penetapan Perppu yang merupakan satu kesatuan dengan UU Ormas tersebut dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan Pasal 12 UUD 1945 dan tidak terdapat 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, prosedur penetapan Perppu tersebut mestinya didahului pernyataan bahaya oleh Presiden yang syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.
"Dengan tidak didahului dengan pernyataan keadaan bahaya dari Presiden, maka penetapan Perppu tersebut tidak sesuai dengan prosedur UUD 1945 dan patut dinyatakan tidak mengikat secara hukum," urai Rangga di hadapan Wakil Ketua Hakim Konstitusi Anwar Usman selaku pimpinan sidang.
Rangga menegaskan hal tersebut sama saja seperti memberikan kepada Presiden hak sebebas-bebasnya untuk menentukan ada atau tidaknya 'hal ihwal kegentingan yang memaksa'. Pada akhirnya, ia khawatir akan membuka lebar penyalahgunaan wewenang oleh Presiden dalam menetapkan Perppu.
Dedi Suhardadi, selaku kuasa hukum lainnya, menyampaikan bahwa Perppu Ormas telah meniadakan hak para Pemohon untuk membela diri di pengadilan. "Bagi Pemohon I s.d. IV Perppu tersebut telah meniadakan hak para Pemohon untuk mendapatkan peringatan dan membela diri di pengadilan sebelum dibubarkan dan pencabutan status badan hukumnya," terangnya.
Selain itu, Pemohon mendalilkan norma yang menyatakan keberadaan ormas yang menganut dan menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (4) huruf c dan Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) Perppu Ormas sangat luas, multitafsir, dan tidak ketat. Aturan tersebut, menurut Pemohon, dapat mengancam hak konstitusionalnya. "Pada pasal tersebut terdapat pencampuradukan dua subjek hukum yang berbeda dengan perbuatan yang berbeda dalam satu ketentuan pidana" tegas Dedi.
Nasihat Hakim
Menanggapi uraian para Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memberikan beberapa nasihat, terutama terkait legal standing dan tanda tangan pada surat kuasa. "Pernyataan tentang legal standing yang perorangan dan badan hukum, kedua itu harus dirinci. Kalau badan hukum, hak konstitusional yang seperti apa yang dirugikan dan kalau perorangan juga seperti apa?" tanya Palguna.
Di samping itu, Palguna pun meminta kejelasan mengenai tanda tangan yang dibubuhi pada surat kuasa. Sebab, ia mendapati adanya beberapa tanda tangan yang berbeda dari penerima dan pemberi kuasa. "Untuk itu, diharapkan hal yang terkesan sepele, tetapi memiliki risiko ini karena terkait hukum beracara. Dalam hukum, ini perlu diperhatikan," tegasnya.
Hakim Konstitusi Suhartoyo pun mencermati hal serupa mengenai pemberi kuasa yang pada permohonan terdiri atas dua orang, namun yang membubuhi tanda tangan hanya satu pemberi kuasa. Dengan demikian, Suhartoyo meminta pihak yang membubuhi tanda tangan itu sesuai dengan nama-nama yang ada dalam AD/ART setiap ormas yang mengajukan perkara. Di samping itu, Suhartoyo pun meminta pandangan para Pemohon terhadap pasal-pasal yang diujikan.
"Saya minta pandangan tentang komulatif dari pasal-pasal yang diujikan, kerancuannya di bagian mana? Apakah kemudian pada implimentasi akan menjadi pisau bermata dua atau bagaimana? Jadi, kekhawatiran para Pemohon diberikan alasan yang lebih jelas karena ini beda subjek antara ormas dan pengurusnya," tandasnya.
Pada akhir persidangan, Anwar menyampaikan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama empat belas hari, hingga Senin, 21 Agustus 2017 pukul 08.00 untuk menyerahkan perbaikan permohonan.(SriPujianti/lul/MK/bh/sya) |