JAKARTA, Berita HUKUM - Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah meresmikan tidak kurang dari delapan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), namun anehnya mayoritas dari pembangkit yang telah diresmikan itu, ternyata malah berhenti beroperasi dan dialihkan dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar.
Sebagaimana diketahui, sejatinya penggunaan gas sendiri merupakan suatu komitmen pemerintah yang memang selain terkait isu lingkungan dengan zat buangnya yang lebih baik dibanding penggunaan Batubara, penggunaan bahan bakar gas juga bertujuan untuk mendorong peningkatan konsumsi gas produk domestik.
Sejak pertama kali Indonesia memproduksi gas, tahun 1970-an, hampir semua produksi dari perut bumi Indonesia, diekspor dan dinikmati negeri lain. Baru kemudian melalui pengaturan Permen ESDM No.03/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Kebutuhan Dalam Negeri, maka serapan domestik untuk pertama kali melampaui porsi ekspor diangka 53 persen terjadi pada 2013.
Artinya, Indonesia memiliki sumber gas yang berlebih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Lalu apa pasal beberapa PLTG yang diresmikan Presiden Jokowi malah berhenti beroperasi? Direktur PT PLN, Djoko R. Abumanan menjelaskan, PLTG yang mengalami kendala terhadap pasokan gas itu tersebar di beberapa tempat yang jumlahnya sebesar 500 MW.
Pembangkit yang dibangun itu memang dirancang menggunakan energi primer ganda, yaitu selain menggunakan gas, disediakan juga storage atau alat penampungan BBM jenis Solar. Djoko menegaskan, yang selama ini konsisten menggunakan gas yaitu hanya pembangkit di Belawan karena memang sumber gasnya dapat masuk secara perhitungan keekonomian bisnis.
"Ini ada di Belawan, Nias, Babel, Pontianak, Lombok, Gorontalo. Jadi tersebar lokasinya, sebesar 500 MW. Memang untuk daerah yang sudah ada gas, dia minum gas. Contoh Medan Belawan minum gas, yang belum, dia paketnya bersama storage BBM, jadi dia bisa pake BBM, bisa pake gas. Yang pake gas, baru di Belawan," kata Djoko.
Adapun kasus PLTG di Benoa, menurut Djoko, memang kontrak perjanjian pembelian gas terhadap Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi telah berakhir sejak Desember 2017.
"Untuk Benoa, itu ada 20 MW, memang disini bisa dual fuel, bisa gas bisa solar. Kontrak gas kami habis Desember 2017," jelas dia.
Sementara anggota Komisi VII DPR, Bambang Haryadi mencurigai adanya upaya kesengajaan yang menghalang-halangi penyerapan gas oleh pembangkit, dengan melalui Permen ESDM No.45/2017 yang mana karena Permen itu membuat harga jual gas pembangkit menjadi tidak ekonomis bagi Badan Usaha Niaga Gas Bumi.
Sehingga pada akhirnya Badan Usaha Niaga Gas Bumi tak sanggup menyuplai gas, dan para pembangkit PLTG pun terpaksa beralih menggunakan BBM jenis solar.
Keadaan ini tentu memprihatinkan. Yang mana pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara produsen gas sekaligus eksportir gas, namun pembangkit yang ada tidak menyerap gas domestik dan malah beralih ke solar yang notabene sebagai jenis BBM yang diperoleh Indonesia melalui impor. Dan diketahui secara umum bahwa energi primer dari Solar tidak seefisien jika dibandingkan dengan penggunaan gas.
Adapun klausul Permen yang disinyalir menjadi batu sandungan penyerapan gas untuk pembangkit, terdapat pada pasal 8 ayat 1; PT PLN atau Badan Usaha Pembangkit Tenaga Listrik (BUPTL) dapat membeli gas bumi melalui pipa di pembangkit tenaga listrik (plant gate) dengan harga paling tinggi 14,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP).
Dilanjuti pada ayat 2; dalam hal PLN atau BUPTL tidak dapat gas melalui pipa dengan harga paling tinggi 14,5 persen dari ICP maka PLN atau BUPTL dapat membeli Liquefied Natural Gas (LNG) di bawah penawaran harga Gas Bumi melalui pipa.
Bambang menjabarkan, bahwa logika Permen itu telah terjungkir balik. Dia mengatakan, bagaimana bisa harga LNG dipaksa sama atau lebih murah dari harga gas pipa? Sedangkan diketahui proses niaga LNG membutuhkan biaya operasional yang meliputi midstream diantaranya biaya kapal dan regastifikasi.
"Permen ini menjadi batu sandungan. Kok harga gas pipa disamakan dengan LNG. Ambang batasnya kok bisa sama 14,5 peren yang menggunakan pipa dengan yang LNG?" herannya.
Bambang mengingatkan, kondisi geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, tentu tidak memungkinkan semua pulau untuk dipaksakan dijangkau dengan pipa. Artinya mekanisme bisnis yang paling memungkinkan yakni tetap mengakomodir sistem distribusi melalui LNG. Namun dengan Permen ESDM No.45/2017 telah membuat LNG untuk pembangkit menjadi tidak ekonomis.
"Emang di semua pulau-pulau kita terdapat sumur gas? Tidak! Ini negeri kepulauan bukan benua yang semua dataran, maka yang sangat dimungkinkan menggunakan kapal melalui LNG, tapi kalau ambang batasnya sudah di patok, maka nggak ketemu harganya dengan yang menggunakan pipa," tutur dia.
Kondisi ini praktis membuat BUPTL mempertimbangkan beralih ke solar lantaran tidak mendapat pasokan LNG. Sementara mengharapkan gas pipa, infrastrukturnya belum mempuni untuk menunjang kebutuhan yang ada.
"Karena Permen itu, akibatnya PLTG terhenti bahkan ada beralih kepada solar. Saya merasa Permen ini aneh, kenapa harga gas pipa 14,5 persen dan harga LNG yang pake kapal, lalu ada proses regastifikasi, harganya dipaksa sama 14,5 persen dari ICP bahkan lebih murah dari itu? Secara tidak langsung yang di Benoa tidak bisa beroperasi lagi karena Permen ini. Karena harganya jauh diatas 14,5 persen," kata Bambang.
"Lalu, sengaja atau tidak aturan ini dibuat? atau memang ada pihak yang berkepentingan terhadap solar untuk menghidupkan pembangkit? Padahal PLN sendiri menyatakan menggunakan LNG jauh ramah lingkungan dan lebih efisien, namun Permen ini malah tidak sejalan dengan hal itu. Jadi sampai kapan kita pake gas yang kita punya sendiri sedangkan solar kita dapati dari impor. Coba dasarnya apa penentuan Permen ini," tukas Bambang.
Karenanya Bambang merasa kasihan terhadap Presiden Jokowi yang kinerjanya tidak mendapat dukungan secara baik dari stakeholder yang ada. Dengan hebohnya di permukaan publik bahwa Presiden Jokowi meresmikan pembangkit PLTG, namun di balik semua itu menjadi nihil karena PLTG yang diresmikan mengalami mogok dan beralih ke energi primer BBM jenis solar.
"Emang nggak malu apa, Pak Presiden sudah resmikan PLTG tapi setelah itu tidak beroperasi dan beralih ke solar," pungkas dia.
Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar tak bisa menafikan akan kenyataan ini. Diantaranya dia mengakui PLTG di Benoa tidak mendapatkan harga gas yang sesuai sebagaimana ketentuan Permen. Dia berjanji akan mencari jalan keluar dari berbagai kasus yang ada.
"Apakah yang di Benoa masuk keekonomian dengan Permen itu? Itu ternyata tidak masuk. Karena tidak masuk, kita cari jalan keluarnya. Bisa nggak kita efisienkan midstram; kapal, regas sama sedikit part plant yang ada di Benoa sana. Nah ini dalam rangka mencari jalan keluar itu. Benchmark harga kita sampai kesimpulan maksimum 14,5 peren dari ICP, tetapi boleh di bawah itu. Boleh nggak di atas itu? Itu yang sedang kita koreksi," kata Arcandra.
Direktur Indonesia Resources Studies (Iress) Marwan Batubara merasa ada yang janggal dari mogoknya sejumlah pembangkit PLTG yang diresmikan Presiden Jokowi. Lazimnya ujar Marwan, ketika melakukan pembangunan pembangkit, harusnya BUPTL telah berkontrak dengan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi untuk menyerap gas sebagai energi primer dalam jangka waktu tertentu. Artinya jika pembangkit yang baru diresmikan mengalami kendala terhadap suplai energi primer, disinyalir pembangunan pembangkit tidak melalui perencanaan yang baik.
Karenanya tegas Marwan, persoalan ini harus dilakukan evaluasi secara komprehensif. Jika nanti ditemukan kerugian negara maupun BUMN dalam persoalan ini, Marwan berharap dilakukan penindakan secara hukum.
"Kalau membangun pembangkit, harusnya ada jaminan pasokan. Kalau di awal perencanaan untuk gas, itu harusnya sudah tahu pasokan gasnya dari mana. Agreement perjanjiannya jual beli gasnya ada nggak? kalau nggak ada, berarti ada masalah di perencanaan. Nah untuk itu harus ada yang bertanggung jawab, siapa yang punya proyek, kenapa gasnya tidak ada. Kalau ditemukan indikasi merugikan BUMN, maka harus ditindak secara pidana," pungkas Marwan.(dd/aktual/bh/sya) |