JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Serikat Paguyuban Petani Qariyah Tayyibah, Ruth Murtiasih mengatakan bahwa, merujuk pada "Hari Tani" yang jatuh pada 24 September 2015 nanti, terkait dengan UU pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, serta selama 55 tahun UUPA diberlakukan, situasi perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai program dan kebijakan terkait pengelolaan sumber-sumber agraria.
Selain itu juga Konvensi Internasional yang memuat kebijakan konvensi penghapusan segala diskriminasi terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW yang diratifikasi oleh Pemerintahan Indonesia pada 24 Juli 1984, dan UU no.7 tahun 1984 dan Konvensi Internasional tentang hak ekonom ssial dan budaya (Konvensi Hak ekosob/CESR) yang diratifikasi oleh Pemerintah pada tanggal 28 Oktober 2005 dan UU no.11 tahun 2005.
"Negara telah mengabaikan prinsip kesetaraan gender yang dimandatkan oleh UUPA. Kami akan melangsungkan aksi unjuk rasa secara serentak nanti pada tanggal 22 September di beberapa wilayah Solidaritas Perempuan, di 11 wilayah Indonesia," ujar Ruth Murtiasih, berhubung 'Hari Tani' bertepatan dengan Idul Adha, maka aksi dilangsungkan pada, hari Selasa (22/9) besok lusa.
Persoalan kasus Agraria merupakan fakta ketimpangan penguasaan lahan yang berujung pada terjadinya konflik agraria. Berdasarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ada 56% asset yang ada di tanah air baik berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 % penduduk Indonesia. Sektor Perkebunan, Infrastruktur, Pertambangan, dan Kehutanan menjadi 4 sektor yang memicu konflik Agraria.
Pada sektor Kehutanan, terjadi ketimpangan sangat besar. Menurut data Kemenhut tahun 2014, Luas Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai 9,39 juta Hektar dikelola oleh 262 unit perusahaan, dan luas HPH mencapai 21,49 Ha yang dikelola oleh 303 perusahaan HPH, sedangkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) hanya seluas 631.628 ha.
Pada bidang Perkebunan, sedikitnya 9,4 juta Ha tanah telah diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit saja. Selain itu pengadaan tanah di Merauke Pemerintah memberikan izin 2 juta Ha kepada 41 Perusahaan saja, melalui Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Sedangkan, di sektor Pertambangan, Luas total lahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 41.750.107 Ha, Untuk Kontrak karya (KK) totalnya 22.764.619,07 Ha, dan perjanjian Karya Pengusahan Pertambangan BatuBara (PKP2B) yang seluas 7.908.807,80 Ha. Padahal, sedikitnya terdapat 28 juta RT Petani yang ada di Indonesia 6,1 juta RT Petani di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali, dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Pulau Jawa.
Dimana, bagi mereka yang memiliki rata-rata pemilikan lahan hanya 0,36 Ha (kategori Petani Gurem), jadi dengan kata lain 32 juta petani Indonesia ada Buruh Tani dan 90 juta adalah Petani subsisten. (ref: Panitia bersama konferensi Nasional Reforma Agraria, Buku Putih Reforma Agraria 2014 hal. 20)
Persoalan ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan konflik agraria. Sepanjang data 2012-2014, konflik Agraria mengalami kenaikan dari 198 konflik pada 2012 menjadi 369 konflik pada 2013, dan menjadi 472 konflik pada 2014. Sedangkan Kriminalisasi dan kekerasan terhadap Petani sepanjang 3 tahun tersebut tercatat 651 ditahan, 295 mengalami luka-lukan dan penganiayaan, 72 tertembak, dan 43 tewas dalam Konflik Agraria.
Data terpilah Serikat Perempuan mencatat sepanjang 2012-2014, ada 2 perempuan dianiaya, 2 perempuan dikriminalisasi, 3 perempuan tertembak, dan 3 perempuan luka-luka akibat bentrok yang terjadi dalam konflik Agraria. Dampak yang dirasakan perempuan berbeda akibat berbagai persoalan, karena ada nya berbagai situasi yang menguatkan pengabaian hak hak perempuan.
Sementara, Puspa Dewi selaku Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan mengatakan, "Momentum hari tani ini menurut kami sangat cepat, namun kebijakannya antah berantah. Tidak ada lagi ruang kita di sini. Dimana sudah di kavling oleh kelompok tertentu," jelasnya, saat media briefing yang bertema "Perempuan Menuntut Reforma Agraria Berkeadilan Gender" di sekretariat Solidaritas Perempuan Jakarta Selatan pada, Sabtu (19/9).
"Saatnya kita mendobrak ini untuk mengatakan bahwa, Jokowi janji-janjinya Reforma Agraria belum terjadi." tegas Puspa Dewi.
Adapun dalam Pelaksanaan Reforma Agraria sebagai informasi, menurut TAP MPR No.IX / MPR/2001, dalam pasal 2 menyebutkan ,"Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia."
Diapun menilai jika tidak diperingatkan, bangsa ini kemungkinan akan kolaps, dan akan diserahkan kepada pihak-pihak asing. "Maka perlu kebijakan afirmatif yang dapat menciptakan akses, kapasitas, dan kondisi pendukung bagi perempuan dalam mengatasi keterbatasan peran sosial dan kekuatan politik perempuan, dalam pengelolaan sumber daya alam untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender," tambahnya, guna penyelesaian konflik agraria.
"Aksi di 11 daerah bentuknya rangkaian merespon Hari Tani. Kami menuntut keadilan gender untuk merebut kembali kedaulatan perempuan. Tujuannya ke Istana Negara," jelasnya, karena masalah Agraria bukan saja masyarakat di Pedesaan, namun perkotaan turut terancam.
Selain itu terkait dengan kerjasamanya Pemerintahan Jokowi-JK yang turut menggunakan militer ke desa, Puspa Dewi mempertanyakan kerjasama Pemerintah dengan militer (penyebaran/ penggunaan benih), "kenapa militer ? Apakah rakyat ga mampu?" ungkapnya.
"Jokowi harusnya memberikan peran-peran kepada sipil. Kemungkinan bisa menimbulkan konflik lagi, ini berat sekali. Karena ini dapat menyita waktu, tenaga. Buruh migran perlu tanggung jawab, karena bebannya berat," ujarnya, yang penuh kekhawatiran karena belajar dari pengalaman sejarah dahulu.
Berikut beberapa hal penting yang direkomendasikan oleh Solidaritas Perempuan (SP) adalah:
1. Menerapkan kebijakan Afirmatif yang dapat menciptakan akses, kapasitas, dan kondisi pendukung bagi perempuan untuk mencapai kesetaran dan keadilan gender.
2. Mengeluarkan kebijakan aturan perlindungan perempuan untuk setiap kebijakan dan proyek pengelolan sumber daya alam. Serta memastikan akses perempuan atas informasi, serta partisipasi dan kontrol dalam pengambilan keputusan.
3. Menerapkan gender disaggregated data (data terpilah), dan gender diferentiated analysis (Analaisi yang berbeda gender), dengan mengindentifikasikan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan.
4. Melaksanakan Reforma Agraria berkeadilan geder, dan mengeluarkan kebijakan yang mengakui perempuan sebagai subyek dari pelaksanaan reforma agraria.
5. Menetapkan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang berperspektif keadilan gender, serta mengidentifikasikan situasi dan dampak yang dialami perempuan akibat konflik agraria.
"Dikotomi tadi perlu didorong dimana kita juga menggagas RUU keadilan dan kesetaraan gender. Pemerintah harus mengakui setiap pembahasan dan kebijakan," tanda Puspa Dewi.(bh/mnd) |