JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Pidana Prof Andi Hamzah mengatakan Polri tentunya harus memproses berbagai laporan masyarakat, apalagi menyangkut dugaan pemerasan yang dampaknya juga akan mengganggu iklim investasi di Indonesia.
"Iya silahkan saja itu (terduga) dilaporkan," ujar Andi Hamzah kepada wartawan ketika diminta tanggapan mengenai dugaan pemerasan yang dilakukan oleh terduga berinsial ST, CT dan KT, Jumat (26/2).
Guru Besar Hukum Pidana ini menerangkan kasus ini bukan delik aduan, tapi menjadi laporan resmi kepada Bareskrim Polri.
"Jadinya bukan delik aduan, soal pemerasan masuknya jadi pelaporan kepada polisi, dan tentunya itu wajib ditindaklanjuti," tutur satu diantara pakar hukum yang mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.
Sebelumnya dugaan ketidaknetralan tim pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT GRP Tbk terjawab dalam persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2021).
Hal ini sebagaimana disampaikan sumber di Mabes Polri, yang mana terungkap mengenai adanya permintaan tim pengurus yang diduga kuat diotaki oleh terduga pemerasan berinsial ST yang meminta Rp 40 Miliar sebagai imbalan jasa fee pengurus kepada PT GRP Tbk (dalam PKPU). Padahal ST bukan anggota dari tim pengurus yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam perkara tersebut, namun disinyalir sangat dominan dalam mengontrol tim pengurus.
"Bila melihat nominal tagihan yang menjadi dasar pengajuan permohonan PKPU oleh salah satu kreditor, yakni PT NBU yang hanya sekitar Rp 1,9 Miliar, tentunya bukan urusan sulit bagi perusahaan sekelas PT GRP Tbk untuk membayar," ungkap sumber.
Dijelaskannya, hal tersebut terbukti sejak awal persidangan bahwa PT GRP Tbk selaku Debitor Termohon selalu menawarkan untuk membayar utangnya kepada PT NBU, bahkan jauh sebelum perkara tersebut diajukan, namun selalu ditolak tanpa alasan.
Fakta tersebut menimbulkan dugaan adanya permainan dan persekongkolan untuk menghancurkan reputasi dan kredibilitas PT GRP Tbk yang merupakan perusahaan baja swasta terbesar nasional.
Terlebih, lanjut sumber, hal itu terbukti di persidangan bahwa harta PT GRP Tbk lebih besar dari utang-utangnya, sehingga angka Rp 40 Miliar menjadi sangat mengerikan untuk ukuran pengurusan yang tergolong tidak rumit.
"Sambil menyelam minum air, rasanya pantas dipribahasakan kepada ST dan kroninya yang beritikad buruk ingin menghancurkan kredibilitas PT GRP Tbk sembari mengharapkan uang senilai Rp 40 Miliar dari kantong PT GRP Tbk," bebernya.
Bahkan kata sumber KT pernah menyampaikan kepada PT GRP Tbk untuk menggunakan jasa hukum dari kantor T & Associates Law Office agar dapat dipermudah dalam hal menghadapi belenggu PKPU yang dihadapi, bahkan dirinya diduga mengancam untuk mempersulit bahkan memailitkan PT GRP Tbk bila tidak menggunakan jasa hukum dari kantor hukum milik ayahnya tersebut.
"Yang mana terbukti dengan tindakan Tim Pengurus yang kerap mempersulit PT GRP Tbk dalam menggunakan haknya selama proses PKPU, mengingat PT GRP Tbk tidak juga mengikuti kemauan sang anak 'jagoan' kepailitan untuk menggunakan jasa dari kantor hukum T and Associates Law Office," paparnya.
Kemudian, alih-alih menerima tawaran tersebut, PT GRP Tbk justru semakin khawatir akan terjebak dan terperosok lebih dalam pada pusaran permainan. "Mengingat nama ST banyak disebut sebagai Mafia Kepailitan di berbagai media, disamping biaya yang sangat mahal yang diminta oleh KT sebagai imbalan yang harus dibayar untuk menggunakan jasa hukum dari kantor ayahnya yang mencapai Rp 10 Miliar di luar dari biaya-biaya teknis," ujarnya.
Menurut sumber, tentu sangat mahal, namun diduga KT menjamin kemenangan, dengan alasan Tim Pengurus diduga dalam kendali dirinya dan ayahnya. Bahkan dirinya juga menyebut pemilik dari PT NBU yakni CT akan mengikuti apa kata ayahnya yaitu ST.
Ini mengingat kedekatan yang telah lama terbangun lama antar keduanya yang juga tergabung sebagai pengurus di organisasi Likuidator maupun partai politik yang sama.
Kondisi tersebut, tambah sumber, cukup menjawab rasa penasaran dari PT GRP Tbk terkait penolakan yang selalu didapatkan, setiap ingin membayar utangnya kepada PT NBU yang ternyata disinyalir berlatar belakang keinginan untuk mendapatkan uang besar dengan berlindung pada "jubah" fee Pengurus.
Di sisi lain, hal tersebut juga semakin membuat terang, dugaan perihal tidak independen-nya dari Tim Pengurus dalam mengurus kasusnya tersebut. Bahkan bila ditarik kesimpulan dari semua variabel yang ada, dapat diduga kuat antara ST, KT dan oknum pengurus dan CT ada sekomplotan yang ingin mendzolimi PT GRP Tbk.
"Setelah ditelusuri, ternyata bukan kali pertama tim dari ST dicurigai tidak profesional dalam menjalankan profesinya, bahkan tidak jarang yang menyebutnya sebagai Mafia Kepailitan, hal tersebut dapat dengan mudah diakses dan ditelusuri dalam laman Google," pungkasnya.(bh/mdb) |