JAKARTA, Berita HUKUM – Politisi Senayan Nudirman Munir mengungkapkan bahwa penerapan kebijakan penahanan kota terhadap para tersangka dalam beberapa bulan terakhir ini termasuk yang tengah disidik oleh Kejaksaan Agung tidak menimbulkan efek jera dalam pemberantasan korupsi dan karenanya akan mempertanyakan ke Jaksa Agung dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, dalam waktu dekat.
“Kita ingin mencari tahu alasan dibalik penerapan kebijakan penerapan tahanan kota tersebut. Meski dalam ketentuan perundangan di KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) dimungkinkan,” kata anggota Komisi III DPR Nudirman Munir kepada wartawan, Sabtu (2/3).
Menurut Nudirman, pemberantasan korupsi hendaknya tidak hanya direduksi semata bagaimana mengembalikan kerugian negara, karena itu sama artinya kita menafikan penegakan hukum dan sekaligus upaya menimbulkan efek jera, sehingga ke depan praktik-praktik korupsi dapat dieleminir.
“Kita tidak ingin langkah yang sudah baik yang dilakukan oleh gedung Bundar (tempat pemeriksaan kasus-kasus korupsi), dengan cepat dan cerdas meningkatkan ke penyidikan kasus-kasus korupsi, justru tidak diikuti dengan penahanan. Pada akhirnya membuka potensi tersangka menghilangkan barang bukti atau mempengaruhi para saksi,” tegas Nudirman.
Di tempat yang berbeda pengamat hukum Margarito Kamis dari Universitas Ternate, Maluku Utara juga mengkhawatirkan kebijakan yang diteruskan akan menimbulkan masalah, seperti upaya tersangka kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi radio 3 G dengan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
“Langkah tersangka itu tidak salah, tapi memang dimungkinkan, karena dia tidak ditahan,” kata Doktor dari Universitas Indonesia ini.
Sementara itu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Andhi Nirwanto kepada Wartawan menjelaskan bahwa, tahanan rutan dibebaskan karena praperadilan, dimana bahwa penahanan terhadap tersangka, itu adalah tidak wajib, karena dalam KUHAP tertulis kata dapat dilakukan penahanan.
“Intinya bahwa penahanan terhadap tersangka, itu adalah tidak wajib, di KUHAP-nya sendiri itu dapat dilakukan penahanan kan begitu, secara normatif begitu, sehingga karena syarat penahanannya itu ada syarat subyektif dan obyektif,” kata Andhi Nirwanto.
Dijelaskannya lagi bahwa khusus syarat subyektif itu yang mempunyai kewenangan adalah penyidik kalau itu tingkat penyidikan, sehingga penyidik akan melihat meneliti, apakah penahanan itu diperlukan kepada seorang tersangka apa tidak, “Tadikan kata-katanya dapat, dapat itu dalam pengertian adalah guna kepentingan penyidikan jika ditingkat penyidikan, bukan untuk kepentingan pemeriksaan, kalau penyidik menganggap tidak perlu atau perlu,” ucap Jampidsus Andhi.
Dipaparkannya bahwa jenis penahanan itu ada 3, tahanan rutan, tahanan rumah, tahanan kota. Semua penegak hukum boleh memilih, sesuai dengan pilihan tersebut. Kepentingannya dan bagaimana secara subyektif penegak hukum itu memandangnya.
“Intinya begitu, kalau dia tidak ada kekhawatiran, cukup ditahan kota boleh-boleh saja, tidak ada kompromistis, kita justru seluruh faktor mari kita sidangkan, masa dibiarkan, sepanjang itu ada alat buktinya kita sidangkan,” terang Andhi.
Selain itu terkait penilaian publik, Kejaksaan Agung dinilai lamban, Andhi menjelaskan bahwa, percepatan itu ada SOP-nya (Standard Operating Procedure).
“Kita sedapat mungkin memenuhi standard operasional tersebut, tetapi memang case satu dengan yang lain itu tidak sama, karakteristiknya itu berbeda-beda, cukup diselesaikan dalam waktu singkat, ada yang lama, anda tahu sendirikan berapa kasus yang ditangani Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan seluruh Indonesia, sekian banyaknya, ada prioritasnya, prioritasnya bukan pada kerugian yang besar, kecil, intinya semua perkara atau yang ada laporannya, ada alat buktinya, kita tangani semua. Kemudian mana yang diprioritaskan mana yang tidak, itu dilihat dari segi antara lain misalnya itu menarik perhatian masyarakat atau tidak, kan begitu, tapi secara umum kita berusaha menyelesaikan semualah kasus-kasus,” jelas Andhi.
Disinggung lagi mengenai persoalan tahanan kota, Jampidsus menegaskan, “Tidak ada masalah, itu 2 hal yang berbeda, tahanan kota itu adalah dia tidak boleh bepergian keluar kota yang ditentukan itu, ya kan, kita tahu sendiri, penanganan perkara itu kan cukup memakan waktu, sementara penahanan rutan disamping terbatas itu bagaimana nanti kalau itu suatu kasus belum selesai sementara penanganannya sudah habis, sementara kasus itu cukup complicated, menarik perhatian masyarakat, menurut hasil penyidikan penyidik, menurut tempat, kerugiannya cukup besar,” tegas Andhi Nirwanto.
Jampidsus mengutarakan bahwa untuk menaikkan status seseorang yang terlibat dalam suatu kasus, para Penyidik Kejaksaan melakukan strategi pada tahap pemeriksaan.
“Kalau pemeriksaan tersangka itu kan merupakan strategi dari penyidik, kita sedapat mungkin itu, mengumpulkan alat bukti lain selain keterangan tersangka, saksi, surat, ahli, petunjuk, itu kita kuatkan, itu kita selesaikan, karena pada dasarnya penyidik itu tidak menggantungkan kepada keterangan tersangkanya. Oleh karena itu tersangkanya duluan apa belakangan itu strategi daripada penyidik kan lebih baik justru belakangan, berarti penyidik sudah punya alat bukti yang sudah kuat sekali, walaupun ketika meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan itu pasti sudah ditemukan minimal alat bukti, soal anda bilang lama dan tidak itu, pokoknya anda tolong dibantu penyidik, anda semua mana yang perlu dimasukan,” pungkas Andhi.(bhc/mdb)
|