BENGKULU, Berita HUKUM - Konvensi media massa di Hotel Horizon Bengkulu, mengambil tema melahirkan Pemimpin Bangsa yang Hebat “Good to Great Leader” kemarin, (8/2), terlibat diskusi yang menarik. Menghadirkan tiga bakal calon presiden (Capres), Moh. Mahmud MD (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Dahlan Iskan (Menteri BUMN), dan Dino Pati Djalal (Mantan Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat).
Dalam diskusi tersebut, ketiga capres masing-masing beragumen soal bahas pemimpin bangsa kedepan yang dipandu moderator Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta.
Di sesi pertama, Mantan Ketua MK, Moh. Mahmud MD menyampaikan, Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang kuat tegas dan bersih dalam mengatasi berbagai persoalan sosial kebangsaan yang terjadi saat ini. “Pemimpin yang bersih dan tegas menjadi kebutuhan bangsa Indonesia, karena tidak dapat dipungkiri saat ini telah terjadi krisis kepemimpinan nasional yang berimbas pada keterpurukan bangsa. Makanya perlu pemimpin yang tegas untuk menegakkan aturan,” tegas Mahmud, seperti dilansir dari harianrakyatbengkulu.com.
Mahmud menambahkan, Pemimpin yang baik, pada saat ditasbihkan menjadi pemimpin bangsa maka dia akan maksimal untuk bangsanya. Demokrasi sekarang sedang bertranformasi apakah jalan atau tidak itu jadi pertanyaan. Disandra oleh oligarki parpol, yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang haus kekuasaan. Orde baru itu demokrasi di komandoi oleh satu orang.
“Konsep kebangsaan kita sudah jelas yakni konsep negara kesatuan. Proses lahirnya pemimpin itu politik transaksional. Saya optimis dengan peran media massa. Yang masih idealis dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Pers, berperan dalam pendidikan politik agar tidak terjebak dalam politik transaksional. Arus opini yang besar dan akan mendorong hilangnya politik transaksional tersebut,” bebernya.
Mahmud menyinggung, soal beberapa parpol dan capres yang tampil di iklan media dalam strateginya untuk menarik simpatik masyarakat. Namun bagi Mahmud, Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang santun dan beretika tidak menyerang siapapun.
“Strategi untuk tampil iklan di TV itu saja 30 detik bisa habiskan Rp 60 juta. Kalikan saja perjam dan perharinya itu. Karena saya tidak punya uang untuk pasang iklan di media massa. Jangan menyerang saja sudah cukup. Demokrasi yang terbaik itu, dari sistem yang lainnya,” kata Mahmud.
Lain halnya dengan Calon Presiden (Capres) Dino Pati Jalal (Mantan Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat) mengungkapkan, dirinya terhitung menjadi PNS sudah 27 tahun. Dalam kepemimpinan Indonesia selama ini, ada 3 tantangan utama. Pertama Nasionalisme tinggi tapi krisis idealisme, banyak yang bermasalah dengan hukum, korupsi dan penyelewengan kekuasaan. Lalu tantangan yang kedua adalah Demokrasi tapi sistem belum berjalan dengan baik, seperti lemahnya birokrasi. Dan ketiga soal kesatuan kelas unggulan, seperti persatuan dan kesatuan selalu menjadi yang utama. Bangsa abad 21 dan agenda 98 persen kesatuan sudah tercapai. “Oleh karena itu ketiga tantangan tersebut perlu mendapat perhatian khusus dalam pemimpin kedepan nanti,” kata Dino.
Diungkapkan Dino, Indonesia, harus menjadi negara yang naik levelnya menjadi bangsa yang maju di Asia. Ini bisa dilakukan mengingat tanah air memiliki semua potensi sebagai persyaratan.
“Bangsa yang maju adalah bangsa yang tidak berpikir dogmatis. Bangsa yang maju terjadi karena mengupayakan nilai-nilai pragmatisme sebagai solusi atas berbagai persoalan bangsa. Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI tetap kita pegang sebagai dogma sampai mati. Itu perlu upaya pragmatis yang dikawinkan dengan aspek solusi,” bebernya.
Pembicara terakhir Calon Presiden (Capres) Kovensi Partai Demokrat yang dikenal sederhana dan dikenal luas berbagai kalangan, Dahlan Iskan. Menteri BUMN ini menyatakan, tidak perlu disesalkan kenapa Indonesia tidak bisa maju seperti Negara Korea maupun Negara Jepang ataupun Negara lainnya. Sementara Negara Indonesia merupakan Negara Demokrasi serta banyak memiliki kekayaan dari sumber apapun.
“Sekarang ini yang diutamakan bagaimana kita bisa mendewasakan diri dalam demokrasi ini. Dan seharusnya ini menjadi resolusi kita sekarang pers dalam demokrasi. Karena kalau tidak akan terlalu lama, masa transisinya. Untuk itu sekarang kita evaluasi, seberapa besar pers sudah mendewasakan diri dalam demokrasi. Dalam kaitannya mencari sosok pemimpin bangsa kedepan,”ujar Dahlan .
Selain itu Dahlan menyampaikan, terkait konteks mengenai surat kabar yang selama itu tergantung kepada pembaca. Sehingga prinsipnya surat kabar boleh mengindoor pihak-pihak tertentu y untuk menjadi Presiden misalnya. Seperti yang terjadi di Amerika dalam surat kabarnya.
“Tetapi semua itu tergantung rakyat yang memilih surat kabarnya. Sementara insfratuktur yang ada di koran ataupun majalah, sepenuhnya di tangan perusahaan. Membeli atau tidak membeli semuanya tergantung masyarakat. Beda halnya seperti konteks televisi itu milik publik, karena televisi tidak perlu bayar saat nonton. Katakanlah begitu Jawa Pos memihak saya, gara-gara memihak saya, lalu orang tidak mau membeli surat kabar Jawa Oos. Dan itu sudah risiko yang diambil. Tetapi tidak dengan Televisi. Dan saya terus ingatkan teman-teman Jawa Pos, jangan korbankan Jawa Pos untuk jangka pendek. Sementara Jawa Pos itu untuk seumur hidup. Dan itu prinspinya,” papar Dahlan yang disambut tepuk tangan riuh tamu undangan. Acarapun berakhir, dengan kata penutup dari moderator Gun Gun Heryanto.(new/hrb/bhc/sya) |