JAKARTA, Berita HUKUM - UU Anti Terorisme dipandang belum perlu direvisi, karena masih cukup memadai. Apalagi, sejak 2013 aksi terorisme di Tanah Air sebetulnya cenderung menurun. Yang perlu dibenahi adalah manajemen BIN dan pengawasan terhadap Densus 88.
Demikian mengemuka dalam dialog bertajuk revisi UU Terorisme di DPR, Selasa (16/2) lalu. Hadir sebagai pembicara Anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid, Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad, dan pengamat dari Police Watch Neta S Pane. Pandangan ini sebenarnya ingin mengimbangi wacana revisi UU Anti-Terorisme yang sedang bergulir di DPR.
Menurut Pane, tidak tepat bila karena peristiwa Thamrin kemarin, lalu muncul wacana untuk segera merevisi UU Terorisme. UU ini, katanya, baru berusia 13 tahun. Masih terlalu muda untuk direvisi. Tidak tepat pula bila kemudian BIN minta kewenangan untuk menangkap dalam revisi tersebut. Kewenangan penangkapan tetap ada pada Densus 88.
Beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam masalah terorisme, lanjut Pane, adalah kembalinya para narapidana terorisme menjadi pelaku teror pascapembebasannya. Ada pembinaan yang tak berhasil selama para pelaku teror menjalani hukuman. Dan untuk menumpas aksi teror tidak perlu dipertontonkan secara terbuka ke publik.
Sementara Anggota Komisi III DPR Jazilul Fawaid setuju revisi tersebut sepanjang kewenangan Polri diperluas agar negara tidak kalah dengan teroris. Politisi PKB ini mengapresiasi kerja Polri dalam menangani kasus-kasus terorisme.
Saat yang sama Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad menyatakan, revisi atas suatu UU harus berdasarkan kebutuhan. Selama ini, lanjutnya, belum ada kebutuhan mendesak untuk merevisi UU Anti-Terorisme. Kalau pun harus direvisi harus memperhatikan kecermatan dan sangat teliti. Dan DPD tidak terlibat dalam revisi UU ini.(mh/dpr/bh/sya) |