JAKARTA, Berita HUKUM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menyampaikan opening statement terhadap Perkara No.2 dan 6/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Senin (18/2).
Baik DPR dan Pemerintah menyatakan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (5) UU No. 8 Tahun 2012 yang dimohonkan untuk diuji tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hadir mewakili DPR, yaitu anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul sekaligus menyampaikan keterangan pendahuluan di hadapan pleno hakim konstitusi.
Ruhut menyampaikan bahwa DPR beranggapan prinsip pembagian daerah pemilihan (dapil) DPR-RI dalam UU Pemilu, selalu dilakukan dengan basis wilayah, baik provinsi maupun bagian provinsi yang memiliki kedekatan atau berbatasan, serta prinsip integralitas wilayah yang berarti daerah pemilihan harus integral secara geografis.
Selain itu prinsip pembagian dapil juga dilakukan secara kesinambungan. Artinya, wilayah yang berada satu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis.
Prinsip lain yaitu kohesivitas penduduk yang berarti satu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial-budaya penduduk karena itulah membentuk dapil luar negeri sulit diwujudkan karena perbedaan letak.
Ruhut juga menjelaskan bahwa dapil WNI yang berada di luar negeri dianggap sebagai bagian dari Provinsi DKI Jakarta dan masuk dalam dapil DKI Jakarta II yang melingkupi Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Selatan, dan luar negeri.
Adanya dapil II itu dimaksudkan untuk mendekatkan WNI yang tinggal di luar negeri dengan satuan wilayah Indonesia. “Jika dibuat daerah pemilihan sendiri dan terpisah, tidak akan terintegrasi dengan satuan wilayah Indonesia.
Selain itu, tidak semua warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri menetap secara permanen. Kemudian secara teknis memang terdapat kesulitan bagi para calon di daerah pemilihan tersebut, maupun para pemilih di luar negeri, terutama dalam hal kampanye dialogis, meskipun disadari saat ini sudah berkembang teknologi elektronik,” jelas Ruhut membacakan tanggapan DPR terhadap dalil Pemohon No. 2/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 22 ayat (1) UU Pemilu tidak mengakomodasi secara khusus keberadaan pemilih di luar negeri meski secara de facto tidak berdomisili di provinsi atau kabupaten/kota, sebagaimana disebutkan di dalam pasal tersebut.
Sedangkan Pemohon perkara No. 6/PUU-XI/2013 mendalilkan bahwa penetapan wilayah dapil di NAD pada lampiran UU Pemilu berpotensi merugikan hak konstitusional Para Pemohon.
Pasalnya, Para Pemohon Perkara No. 6/PUU-XI/2013 yang merupakan warga Suku Gayo tidak dapat memperjuangkan keutuhan nilai-nilai budaya akibat terbelahnya wilayah Gayo menjadi dua dapil.
Terhadap dalil Pemohon No. 6/PUU-XI/2013, Ruhut menyampaikan bahwa DPR berpendapat bahwa dalam membentuk suatu dapil harus diperhatikan prinsip-prinsip dasar, yaitu kesetaraan, integritas wilayah, kesinambungan wilayah, dan kohesivitas seperti yang sudah Ruhut jelaskan pada perkara No. 2/PUU-XI/2013.
Sesuai prinsip tersebut, keinginan Para Pemohon untuk memecah dapil NAD bukanlah hal tabu untuk dilakukan sepanjang tidak melanggar ketentuan alokasi kursi 3 sampai 12.
"Namun harus diperhatikan bahwa jika alokasi kursinya menjadi tidak seimbang atau proporsional antar daerah pemilihan, maka hal itu akan memberikan dampak bagi kesetaraan suara yang dimiliki,” ujar Ruhut.
Tidak Hilang Keterwakilan
Pemerintah diwakili Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi menyampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945, Pemilu DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.
Pemilu diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan. Yang artinya, setiap orang WNI dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasinya di daerah pemilihannya pada setiap tingkatan pemerintahan dari pusat maupun daerah.
Sedangkan lingkup daerah pemilihan ditentukan berdasar wilayah administrasi pemerintahan, nasional, provinsi, atau kabupaten kota, jumlah penduduk, atau kombinasi, faktor wilayah dengan jumlah penduduk.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Mualimin menyampaikan bahwa memecah-mecah atau menggabung-gabungkan wilayah administrasi menjadi satu dapil adalah sesuatu yang lazim dalam pemilu dengan sistem proporsional.
Di Indonesia, setelah perubahan UUD 1945, penerapan doktrin one person, one vote, dan one value menjadi tidak terhindarkan karena konstitusi menetapkan adanya lembaga DPD dalam sistem legislatif.
Maka, terhadap permohonan Pemohon 2/PUU-XI/2013, Pemerintah Menyampaikan bahwa daerah pemilihan yang berasal dari luar negeri menjadi bagian dari Provinsi DKI dan menjadi lingkup Daerah Pemilihan II DKI Jakarta, pada prinsipnya sama sekali tidak mengurangi fungsi keterwakilan dari WNI yang bertempat tinggal di luar negeri.
"Setiap warga negara tetap dapat menilai dan menyampaikan aspirasinya melalui wakil yang telah dipilihnya, khususnya berkaitan dengan daerah pemilihan luar negeri yang dimasukkan ke dalam lingkup Daerah Pemilihan DKI Jakarta II, hal ini dikarenakan suara pemilih di luar negeri tidak terkonsentrasi dalam suatu wilayah tersendiri.
Suara pemilih luar negeri tersebar di banyak negara sebagai sebuah entitas kelompok pemilih,” urai Mualimin.
Sidang kedua perkara ini masih terus bergulir karena kedua Pemohon masih ingin mengajukan ahli dan saksi. Sidang selanjutnya akan digelar Selasa, 5 Maret 2013, jam 11.00 WIB, lantai 2, di Ruang Sidang Pleno MK.(yna/mh/mk/bhc/rby) |