JAKARTA (BeritaHUKUM.com) Terdakwa Umar Patek (45) alias Hizam bin Ali Zein alias Umar alias Abu Syeh alias Mike alias Ar Falan alias Abdul Karim menolak selurih dakwaan yang disampaikan tim jaksa penuntut umum (JPU) yang dikoordinatori Bambang Suhariyadi. Hal ini disampaikannya dalam nota keberatan (eksepsi) melalui koordinator tim pembelanya, Ashludin Hatjani di Pengadilan negeri (PN) Jakarta Barat, Senin (20/2).
Menurut kubu Umar Patek di hadapan majelis hakim yang diketuai Lexsy Mamoto itu, sangkaan serta pasal-pasal yang diterapkan dalam berkas dakwaan kliennya dianggap tidak tepat. "Kami menilai ada beberapa pasal yang tidak tepat dalam dakwaan untuk Umar Patek. Satu di antaranya penggunaan pasal 15 jo pasal 9 UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme," kata Asludin.
Pasal yang didakwakan itu, lanjut dia, merupakan asas retroaktif. Alasannya, UU tersebut belum dapat diterapkan, karena kejadian bom saat Malam Natal 2000 lalu. Sedangkan UU Pemberantasan Terorisme baru disahkan pada 2003 atau tiga tahun kemudian, setelah kejadian tersebut. Hal ini diperkuat dengan putusan MK menetapkan asas retroaktif tidak bisa dilaksanakan, ujar Asludin.
Selain itu, lanjut kuasa hukum, pasal 340 jo pasal 55 ayau (1) kesatu KUHP tentang tindak pidana pembunuhan berencana, juga didakwakanuntuk kasus kasus Bom Bali I. Hal ini pun dianggap tidak jelas. "Dakwaan itu tidak jelas, karena kedatangan Umar Patek ke Bali hanya memenuhi undangan Imam Samudra. Soal perencanaan tentang bom Bali tersebut, terdakwa tidak mengetahui sama sekali. Kami minta majelis hakim membatalkan dakwaan penuntut umum seluruhnya demi hukum, tandasnya.
Sebelumnya, dalam dakwaan JPU Bambang Suharijadi menyebutkan bahwa dalam dakwaan pertama dan kedua, terdakwa Umar Patek dijerat UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme dengan ancaman hukuman mati. Dia telah menguasai, membawa, memiliki persediaan, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan dan mempergunakan senjata api atau amuniasi dengan tujuan tindak pidana terorisme.
Patek dinyatakan melarikan diri, setelah terlibat dalam peristiwa peledakan Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002 yang menyebabkan sebanyak 192 orang meninggal dunia. Terdakwa juga dianggap ikut menghancurkan gedung Paddy's Club dan Sari Club serta 422 unit bangunan lainnya serta merusak fasilitas publik.
"Perbuatan tersebut dimaksudkan untuk melanjutkan tindak pidana terorisme. Di mana terdakwa kemudian pada Januari 2010 di tepi Pantai Panyaungan, Cihara, Lebak, Provinsi Banten, bersepakat dengan Dulmatin Warsito dan Sibgoh melakukan uji coba senjata tiga pucuk senjata M16 untuk pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh," ujar jaksa.
Sedangkan dakwaan ketiga yang menjerat Patek adalah ancaman pidana Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati. Sedangkan, dalam dakwaan keempat dan kelima, Patek pun dinyatakan telah melakukan pemalsuan dokumen imigrasi dan diancam dengan Pasal 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
"Dari tindakan tersebut, akhirnya terbit paspor atas nama terdakwa dengan identitas Anis Alawi Jafar, yang kemudian digunakan terdakwa menuju Lahore, Pakistan, dengan istrinya Fatimah Zahra melalui petugas imigrasi Bandara Soekarno Hatta," tutur Bambang.
Sementara dalam dakwaan terakhir, pria kelahiran Pemalang tersebut diancam UU Nomor 12/Darurat/1951 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP tentang kepemilikan bahan peledak, atas pengeboman enam gereja pada Malam Natal 2000.
JPU dalam dakwaannya menyatakan, terdakwa membantu mencampur bahan peledak dan memasukkannya ke dalam wadah bom yaitu kotak dan tas jinjing dalam proses pembuatan bom yang berlangsung 20 hari.
"Pada 24 Desember 2000 sekitar pukul 15.30 WIB, semua bahan peledak siap dibawa oleh Imam Samudra dan Dulmatin. Namun, terdakwa tidak diberitahu dan tidak mengetahui kemana bom tersebut dibawa atau kepada siapa bom diserahkan," ungkap jaksa. (dbs/bie)
|