JAKARTA, Berita HUKUM - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan bahwa, adanya pungutan ekspor di luar pajak pada dasarnya untuk tujuan subsidi dan replanting (peremajaan kembali), serta untuk riset. Viva Yoga menjelaskan di sesi diskusi publik yang digelar di restoran Pempek Kita, kawasan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan pada, selasa siang (26/1) bertema, "Pungutan Ekspor, 50 US$/.ton Mencekik Petani Sawit, Modus Baru Menguasai Lahan Petani Miskin dan Perampokan Uang Rakyat Kecil Atas Nama Dana Ketahanan Energi" yang diadakan oleh Institut Soekarno Hatta (ISH).
Viva Yoga Mauladi yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI ini juga menyampaikan, sebelumnya ia pernah memperoleh data beberapa waktu yang lalu dari data resmi Dirjen Perkebunan tahun 2016. "Dimana penghimpunan dana BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan) sampai dengan bulan Juli hingga Desember 2015 sebesar 6,9 triliun rupiah dan penyalurannya sebesar 534 miliar rupiah," jelasnya.
"Adapun target penghimpunan dana untuk tahun 2016 sebesar 9,6 trilyun rupiah, dengan alokasi penyaluran dana Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), dimana untuk biodiesel P20 sebesar 90%," ungkapnya lagi.
Menurutnya penting untuk merumuskannya, soalnya tidak sesuai dengan roh dan semangat Undang-undang Perkebunan. "Untuk replanting (peremajaan sawit) hanya 3 %, sisanya untuk seminar dan yang lainnya sebesar 7%, riset dan untuk biodiesel P20 sebesar 90%," katanya.
Perlu diketahui biodiesel untuk B12 menggunakan campuran biodiesel 15% pada solar, sesuai dengan Permen ESDM nomor 12 tahun 2015. Namun tenyata, yang menyerap biodiesel ini, yaitu PT. Pertamina, dan PT AKR Corporindo," ungkapnya.
Ditambah lagi beberapa perusahaan produsen bahan bakar nabati yang memasok PT. Pertamina. "Yang menjadi problem untuk dana pungutan BPDP 90% ini dialokasikan kepada bahan dasar nabati ini, sisanya untuk replanting," ujar Viva Yoga Mauladi mantan Korps Alumni HMI sebagai Sekjen Majelis Nasional.
Permen ini menyimpang dari roh semangat kebatinan. Di susunnya Undang undang Perkebunan, karena tidak berpihak dan melindungi rakyat lalu subsidi ini penuh dengan moral hajat, namun yang disubsidi ini produsen-produsen besar bahan dasar nabati itu." Ini bukan dievaluasi namun harusnya dicabut. Jelas tidak sesuai dengan roh UU perkebunan, malahan akan memiskinan petani sawit plasma dan mandiri (swadaya)," jelasnya lagi.
Sementara, Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 (PP No. 61/2015) tentang Penghimpunan dan Pemanfaatan Dana Kelapa Sawit dianggap hanya merugikan para petani sawit.
"Kita meminta kepada pemerintah untuk segera mencabut Perpres tersebut, karena implikasi di lapangan hanya merugikan petani sawit dan bertentangan dengan UU Perkebunan," kata Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dalam diskusi Publik di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (26/1).
Yoga menuturkan, kehadiran Perpres Nomor 61 tahun 2015 yang memuat kebijakan pungutan ekspor CPO sebesar USD.50 per ton melenceng dari UU Nomor 39 tahun 2014 yang disusun oleh komisi IV waktu itu.(bh/mnd) |