SIDNEY (BeritaHUKUM.com) – Seorang wartawati Australia, Kathryn Bonella menulis buku berjudul ‘Hotel Kerobokan’. Buku itu bercerita tentang pengalaman dan pengamatannya di dalam penjara Kerobokan, Denpasar, Bali.
Bonella menyusun bukunya setelah melakukan penelitian selama tiga tahun yang hasilnya terangkum dalam ratusan wawancara dengan para sipir serta para narapidana atau mantan narapidana. "Para napi dapat memesan layanan kamar seperti di hotel, antara lain makan malam yang diantar langsung ke sel, bir, berpergian keluar penjara di siang hari. Mereka yang memiliki uang tunai dapat menjalani hidup yang lebih baik (di Kerobokan),” kata Bonella kepada kantor berita AFP, Senin (27/2).
Penjara Kerobokan dibangun pada 1979, saat itu penghuninya hanya 300 orang, atau hanya sepertiga dari total penghuni saat ini yang jumlahnya mencapai lebih dari 1.000 orang. "Penjara itu kelebihan kapasitas hingga 300%. Anda bisa merasakannya begitu anda melangkah ke ruang kunjungan tempat dimana orang-orang berdesakan dan udara terasa panas," kata Bonella.
Enam puluh narapidana asing dievakuasi dengan alasan keamanan, namun 13 diantaranya meminta kepada petugas, agar segera dikembalikan ke Kerobokan karena tidak mau harus kembali beradaptasi, jika pindah ke penjara lain.
"Kerobokan adalah penjara dimana pembunuh berantai, psikopat dan penjahat narkotika bercampur tanpa jarak, dan hanya ada 17 sipir untuk mengontrol lebih dari 1.000 orang penghuni," kata Bonella.
Pada Selasa (21/2) malam lalu, kerusuhan melanda penjara ini setelah sekelompok narapidana memprotes ketidakadilan perlakuan terhadap sejumlah narapidana. Akibatnya, ratusan penghuni ditransfer ke penjara lain disusul dengan pergantian kepala penjara.
Seorang narapidana yang sedang menjalani empat tahun masa hukuman karena kasus narkotika menyatakan bahwa layanan kamar tidak hanya terbatas pada makanan saja. "Ada narapidana yang memesan pekerja seks komersial melalui pegawai penjara," kata narapidana tersebut.namun, hingga kini ada tanggapan dari Kemenkumham mengenai isi buku ini.(bbc/sya)
|