JAKARTA, Berita HUKUM - Unjuk rasa Aksi 299 dilakukan untuk mendesak pemerintah Republik Indonesia membatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat, atau Perppu Ormas serta menolak kebangkitan Komunisme yang mengarah pada Partai Komunis Indonesia (PKI), Jumat (29/9).
Tepat pukul 13.00 WIB seusai shalat Jumat, Aksi Damai 299 dimulai di luar depan Gedung DPR, DPD, MPR Senayan Jakarta. Pembukaan acara dilakukan di atas mobil komando Front Pembela Islam (FPI) dengan membacakan umul Qur'an.
"Mari kita buka orasi kita ini dengan membaca surat Alfatihah," seru kordinator aksi di atas mobil komando, Jumat (29/9).
Serentak semua peserta aksi sekitar puluhan ribu massa di sekitar mobil komando hening tertunduk membacakan surat Alfatihah. Setelah menyerukan membaca Alfatihah, kordinator aksi meminta peserta aksi menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Perwakilan massa Aksi 299 diterima oleh pimpinan DPR RI di ruang pimpinan DPR Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Jumat (29/9). Kepada pimpinan dewan, Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Maarif menyampaikan resolusi Aksi Bela Islam 299.
Ada dua permintaan yang disampaikan oleh Slamet Maarif, yang pertama pada DPR RI dan kedua pada pemerintah Jokowi-jK. Slamet mengatakan, permintaan ini disampaikan mengingat perkembangan kehidupan nasional yang makin meresahkan, terutama, gejala keretakan bangsa yang makin terasa dan simpang siur kebijakan Jokowi dalam berbagai hal.
"Kami saksikan dan rasakan bahwa pemerintah Jokowi sejak berkuasa, tidak ramah, dan tidak bersahabat dengan umat Islam," kata Slamet Maarif, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Jumat (29/9).
Slamet menilai pemerintahan Jokowi secara terus menerus dan sistematis memojokkan umat Islam sebagai kambing hitam dan objek fitnah politik. Ia juga menengarai manifestasi Islamphobia yang dilakukan oleh elemen-elemen tertentu di rezim Jokowi.
Permintaan pertama yang disampaikan massa aksi 299 berkaitan dengan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Slamet mendesak agar perppu ini segera dibatalkan. "Perppu No 2 Tahun 2017 nyata-nyata bertentangan dengan pasal 22 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945," kata Slamet.
Slamet meminta DPR RI tidak berperan sebagai 'tukang stempel' keinginan pemerintah karena akan menyebabkan kekuasaan pemerintah semakin otoriter. Ketua Presidium Alumni 212 ini juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas membendung gejala-gejala kebangkitan PKI.
Tap MPRS No XXV Tahun 1966 yang menetapkan pembubaran PKI dan melarang kegiatan organisasi ini tidak boleh dicabut. "PKI tetap merupakan bahaya laten yang harus terus-menerus kita waspadai," ujar Slamet.
Ia meyakini kader-kader PKI masih terus melakukan infiltrasi ke berbagai lembaga negara, bahkan ke tubuh Polri dan TNI. Slamet juga mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak memaksakan rekonsiliasi dengan PKI, apalagi minta maaf kepada PKI.
Menurut Slamet, rekonsiliasi alami itu sudah berjalan sejak lama. Surat bebas lingkungan, bebas dari anggota PKI 1965, sudah belasan tahun ditiadakan. Anak cucu kader PKI juga sudah bebas mengembangkan karir politik, militer, pendidikan, bisnis, dan berbagai profesi lain di Indonesia.
Menurut Slamet, lembaga legislatif dan eksekutif juga tidak pernah mempersoalkan lagi keberadaan mereka. "Hal ini merupakan kearifan dan kewaskitaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, bangsa yang majemuk dan saling menghargai perbedaan berdasarkan agama, ras, etnis, dan sebagainya," ujar Slamet.
Perwakilan massa Aksi 299 diterima di ruang pimpinan DPR RI oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Wakil Ketua Komisi II Al Muzammil Yusuf, Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, anggota fraksi PAN Daeng Muhammad dan anggota fraksi PKS Nasir Djamil.(republika/bh/sya) |