BALI, Berita HUKUM - Berakhir sudah perhelatan Musyawarah Luar Biasa Partai Golkar yang berlangsung selama empat hari, 14-17 Mei 2016 di Nusa Dua, Bali.
Setya Novanto resmi terpilih sebagai ketua umum Golkar menggantikan Aburizal Bakrie. Setnov, begitu ketua DPR itu sapa, dinyatakan terpilih setelah rivalnya, Ade Komarudin memutuskan untuk mundur saat memasuki putaran kedua pemilihan.
Pengamat komunikas politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing menilai, Golkar telah menerapkan proses demokrasi yang sangat baik di internal partainya. Para pemilik hak suara memberikan pilihannya secara bebas dan rahasia ke kotak suara. Alhasil, pilihan Golkar jatuh kepada Setnov.
Voting tertutup ini menunjukkan bahwa Golkar menjunjung tinggi kerahasiaan sebagai salah satu nilai penting dalam berdemokrasi.
"Munaslub kali ini menjadi titik balik bagi Golkar untuk bersatu dan solid seperti sedia kala," ujar Emrus kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/5).
Emrus mengemukakan, setidaknya ada tiga agenda utama yang segera dibenahi oleh DPP Golkar di bawah nakhoda baru Setya Novanto.
Pertama, penyelesaian konflik internal yang berlarut selama beberapa tahun belakangan. Bila salah kelola bisa menyebabkan "luka" masa lalu. Penyelesaian konflik tersebut dapat ditempuh dengan kompromi politik di internal Golkar.
"Jangan melibatkan kekuatan politik di luar Golkar. Misalnya, Setya Novanto merangkul berbagai faksi untuk duduk di kepengurusan Golkar," ujarnya.
Bila ada reshuffle kabinet ke depan, hemat Emrus, sebaiknya Setya Novanto menyodorkan tokoh Golkar yang kredibel, sebagai simbol perekat di tubuh beringin.
Kedua, lanjut Emrus, Setnov berkewajiban mengembalikan kepercayaan publik kepada Golkar dengan membuat agenda politik operasional yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Misalnya dengan membangun pusat-pusat pelayanan publik di tingkat DPC yang secara konkret membantu persoalan rakyat, tambahnya.
Ketiga, mendukung pemerintah secara tulus dan maksimal dalam rangka mempercepat meningkatkan kesejahteraan rakyat, utamanya masyarakat bawah.
"Dukungan kepada pemerintah sangat produktif, sebab dua kader Golkar yang berada di pemerintahan sangat strategis di Pemerintahan Jokowi, yakni Jusuf Kalla dan Luhut Panjaitan," tandas Emrus.
Sementara, Sejak sebelum Partai Golkar membuka Munaslub 2016 di Bali akhir pekan lalu, pemerintah sudah jelas menunjukkan pemihakannya kepada calon ketua umum, Setya Novanto.
Soal mengapa pemerintah lebih menyukai Novanto dapat dijawab dengan sedikitnya tiga alasan. Demikian diungkap oleh Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, lewat keterangan pers tertulis.
Pertama, Novanto dipandang sebagai figur yang paling fleksibel dan akomodatif dalam soal politik dibandingkan dengan Ade Komarudin.
Kelenturan dan kesediaan mengakomodasi kepentingan politik adalah dua hal penting yang dibutuhkan oleh pemerintah dari pimpinan partai politik yang menjadi mitranya di DPR. Apalagi Golkar ini kan pemilik kursi terbesar kedua di DPR.
Kedua, hubungan personal antara Novanto dengan Luhut Panjaitan yang punya posisi penting dan strategis di eksekutif, cenderung lebih dekat dan kuat dibandingkan dengan hubungan kandidat ketua umum Golkar yang lain.
Di dalam politik, lanjut Said, kedekatan personal merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan. Semakin dekat hubungan personal seseorang dengan yang lain, maka semakin mudah bagi keduanya membuat konsensus. Dalam konteks itulah pemerintah melalui Menko Polhukam berharap bisa bekerjasama secara lebih baik lagi dengan Partai Golkar dibawah kepemimpinan Novanto.
Ia melanjutkan alasan ketiga. Boleh jadi pula pemerintah memberikan dukungan kepada Novanto karena ada strategi tertentu yang sedang dirancang pemerintah.
Menurutnya, di dalam praksis politik, dikenal apa yang disebut dengan "politik injak kaki" atau "politik sandera", yaitu suatu praktik politik yang dilakukan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang dianggap memiliki suatu "catatan politik". Catatan dimaksud bisa dipakai untuk menekan agar pihak lain itu mau mengikuti kehendak politik si penekan.
Mungkin saja, pemerintah memandang berbagai kasus yang pernah menimpa Novanto saat menjabat sebagai Ketua DPR sebagai "catatan politik" dimaksud.(ald/wid/rmol/bh/sya) |