Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Kesehatan
Ahli: Negara Bertanggung Jawab Wujudkan Jaminan Kesehatan Masyarakat
2018-12-21 16:02:31
 

(Ka-Ki) Feri Amsari beserta Laksono Trisnantoro ahli yang dihadirkan pihak Pemohon dan Mudjtahid Ahmad selaku saksi Pemohon masing-masing memberikan keahlian dan kesaksian dalam sidang pengujian UU Praktik Kedokteran, Rabu (19/12) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.(Foto: Humas/Ganie)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Pentingnya kesehatan bagi masyarakat, maka negara bertangung jawab atas pelayanan kesehatan yang layak termasuk dalam pengaturan organisasi profesi dokter yang tidak terpisah dari upaya negara tersebut. Hal tersebut disampaikan Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari yang hadir sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Rabu (19/12) di Ruang Sidang Pleno MK.

Perkara yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan 36 orang perseorangan warga negara yang terdiri atas dosen, pensiunan dosen, dan guru besar bidang kedokteran. Para Pemohon menyatakan Pasal 1 angka 12 dan angka 13 serta Penjelasan Pasal 1, Pasal 29 ayat (3) huruf d serta Penjelasan, serta Pasal 28 ayat (1) UU Praktik Kedokteran berpotensi merugikan hak konstitusional para Pemohon. Lebih lanjut, Feri menyampaikan dokter dalam organisasi profesinya harus mampu menciptakan suasana kerja yang baik. Sehingga terintegrasi pula dengan pelayanan kesehatan yang optimal bagi publik. Dengan kata lain, negara berperan mengatur organisasi profesi kedokteran untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi warga negara semaksimal mungkin.

"Melalui UU a quo tujuan dari IDI harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat berikan layanan optimal bagi masyarakat. Sehingga organisasi profesi pun dapat bertindak profesional dalam pelayanan tersebut sesuai amanah konstitusi," jelas Feri di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

Sifat Putusan MK

Dalam perkara tersebut, Feri juga memberikan keterangan bahwa putusan MK yang bersifat mengikat bagi siapa saja. Meskipun disadari secara konstitusional sudah dinyatakan pada Nomor 10/PUU-XV/2017 mengenai masalah UU Praktik Kedokteran, masih banyak dari publik belum memahaminya. Melalui putusan tersebut, tambah Feri, MK memandang dalam organisasi profesi kedokteran terdapat masalah pada pengelolaannya. Mahkamah menyatakan bahwa IDI tidak bisa menjadi pengatur dirinya sendiri, tetapi berpedoman pada teori kekuasaan, maka ada hal dalam organisasi profesi kedokteran ini yang disimpangkan. Selain itu, MK juga menggariskan aspek pengawasan dalam masyarakat terhadap organisasi profesi kedokteran yang sangat berelasi kuat. Artinya, MK menilai tanpa adanya profesionalitas kedokteran maka hak jaminan kesehatan masyarakat akan terganggu kemudiannya. "Jadi, organisasi profesi kedokteran mesti mematuhi perintah MK dalam pelaksanaannya sehingga tidak membuat aturan untuk organisasinya sendiri," jelas Feri.

Sistem Kesehatan

Pada kesempatan yang sama Ahli Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gajah Mada Laksono Trisnantoro yang juga dihadirkan para Pemohon, menyampaikan perlu adanya batas kewenangan IDI dengan berpedoman pada sistem yang diterapkan WHO. Menurut Laksono, pelaku dalam sistem kesehatan sebenarnya dapat saja dari pemerintah, swasta, dan lembaga kuasi pemerintah seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Sehingga, sangat mungkin terjadi konflik yang menghambat terlaksananya sistem keputusan dalam pelayanan terhadap kesehatan dari pihak-pihak pelaku sistem kesehatan tersebut.

Lebih lanjut, Laksono melihat untuk menghasilkan sebuah sistem kesehatan yang baik maka yang menjadi pemimpinnya adalah halpenting. Dalam perkara tersebut, pimpinan dari sebuah organisasi profesi kedokteran harus dipimpin dokter yang kompeten agar tidak mempertaruhkan pemberian layanan kesehatan yang baik bagi masyarakat. "Melihat keberadaan IDI dengan self regulating body-nya, maka IDI bisa mengarah pada monopolistik sehingga menjadi akar masalah hingga saat ini dengan berkali-kalinya perkara ini diujikan ke MK," terang Laksono.

Untuk itu, posisi IDI di masa depan, tambah Laksono, diharapkan melalui batasan terhadap self regulating body-nya dan melalui peran pemerintah. Dengan kata lain, Pemerintah berperan dalam pengawasan untuk mendapatkan dokter-dokter yang kompeten, IDI menempatkan diri pada posisi pada bidang pekerjaan atau pengelolaan sumber daya manusia dalam peningkatan keprofesionalitasan dokter, sedangkan Kolegium dikelola independen untuk fokus pada resertifikasi yang diawasi KKI. "Jadi tidak bertumpu pada IDI yang tanpa adanya pengawasan. Melalui pembatasan ini akan baik pula bagi pengembangan IDI yang dicintai anggotanya dan terpicu untuk berkembangnya organisasi profesi guna makin memberikan nilai tambah dunia kesehatan di Indonesia," harap Laksono.

Bukan Raja

Mulya Mujtahid Ahmad yang pernah menjabat sebagai Ketua PB IDI Periode 2000 - 2003 yang dihadirkan sebagai Saksi Pemohon menyampaikan masih kentalnya pemahaman IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter dengan tidak direstuinya organisasi bidang kedokteran lainnya. Berdasarkan pengalaman yang ditemuinya, Mujtahid melihat adanya pandangan IDI terhadap organisasi kedokteran lain, yang telah disalahartikan IDI. Sejak 2003 - 2015, tambah Mujtahid, AD/ART IDI disesuaikan dengan makna UU a quo. Kemudian pada 2015 secara bertahap AD/ART itu telah diubah di mana struktur kepemimpinan IDI berada sejajar dengan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). "Jadi, IDI sebagai penjaga rumah dan bukan raja dari organisasi profesi IDI," cerita Mujtahid.

Sebelumnya, para menyatakan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran pada pengertian frasa "Ikatan Dokter Indonesia," Pemohon menilai pasal tersebut ditafsirkan secara sempit semata-mata sebagai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) untuk tingkat nasional.Padahal menurut para Pemohon dalam lingkungan IDI terdapat beberapa majelis yang sifatnya otonom, seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Pengertian IDI pada pasal tersebut dinilai menempatkan majelis-majelis tersebut menjadi subordinat dari PB-IDI. Khususnya pula bagi Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) yang berakibat pada kesewenangan PB-IDI untuk campur tangan dalam bidang akademis/pendidikan dokter.Dampak negatif dari pasal-pasal tersebut apabila tidak dikoreksi akan menjadikan PB IDI menguasai atau mengendalikan bidang kedokteran dari hulu hingga ke hilir karena tidak terbinanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga dalam lingkungan IDI sebagaimana dipraktikkan senior-senior IDI pada masa-masa sekitar tahun 2000. Untuk itu, para Pemohon meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan konstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal yang diujikan.

Sebelum menutup persidangan Anwar menyampaikan persidangan berikutnya akan digelar pada 14 Januari 2019 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari Saksi kuasa presiden.(SriPujianti/LA/MK/bh/sya)



 
   Berita Terkait > Kesehatan
 
  Obat yang Beredar di Masyarakat Harus Terjamin Keamanan dan Kelayakannya
  Koordinator SOMASI Jakarta Sambangi Dua Kementerian, Terkait Peredaran Produk Formula Kuras WC dan Anti Sumbat Ilegal
  RUU Kesehatan Sepakat Dibawa ke Paripurna, 7 Fraksi Setuju dan 2 Fraksi Menolak
  Anggota DPR Rieke Janji Perjuangkan Jaminan Kesehatan dan Hari Tua bagi Pekerja Migran Indonesia dan Keluarganya
  Nasib Nakes Honorer Tidak Jelas, Netty Prasetiyani: Pelayanan Kesehatan Berpotensi Kolaps
 
ads1

  Berita Utama
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

Pakar Hukum: Berdasarkan Aturan MK, Kepala Daerah Dua Periode Tidak Boleh Maju Lagi di Pilkada

 

ads2

  Berita Terkini
 
Permohonan Praperadilan Tom Lembong Ditolak, Jampidsus Lanjutkan Penyidikan

Hari Guru Nasional, Psikiater Mintarsih Ingatkan Pemerintah Agar Segera Sejahterakan Para Guru

Polri Bongkar Jaringan Clandestine Lab Narkoba di Bali, Barang Bukti Mencapai Rp 1,5 Triliun

Judi Haram dan Melanggar UU, PPBR Mendesak MUI Mengeluarkan Fatwa Lawan Judi

Komisi XIII DPR Bakal Bentuk Panja Pemasyarakatan Usai 7 Tahanan Negara Kasus Narkoba Kabur dari Rutan Salemba

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2