JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin mengatakan sebaik apapun materi sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), perdebatan pertama dan utamanya adalah apakah perpu tersebut telah memenuhi syarat hal ihwal kegentingan memaksa menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Inilah yang harus menjadi acuan pertama dan utama baik DPR dan Mahkamah Konstitusi guna menilai Perpu tersebut.
Menurutnya, Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perpu Pilkada) inkonstitusional, bahkan bisa dikategorikan penyalahgunaan kewenangan. Hal tersebut karena perpu tidak memenuhi syarat formil yang menjadi syarat mutlak pembentukan Perpu, yakni hal ihwal kegentingan memaksa. “Jikalau Perpu tidak memenuhi syarat tersebut, maka semulia apapun materinya, Perpu itu tidak dapat disetujui menjadi undang-undang oleh DPR dan harus dinyatakan inkonstitusional oleh MK,” ujarnya dalam sidang lanjutan pengujian Perpu Pilkada di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (8/1).
Ahli Pemohon perkara Nomor 127/PUU-XII/2014 tersebut menjelaskan, MK sudah memiliki kerangka konstitusional tentang syarat formil perpu, yaitu pada putusan MK Perkara Nomor 03/PUU-III/2005 hingga Perkara Nomor 1 dan 2/PUU-XII/2014. Berdasarkan syarat formil tersebut, Perpu sesungguhnya memiliki syarat umum dan syarat khusus yang harus terpenuhi oleh Presiden untuk dapat mengeluarkan perpu.
Salah satu syarat umum yang harus dipenuhi dalam pembentukan Perpu termuat dalam Putusan MK Nomor 03/PUU-III/2005. Putusan tersebut memberikan hak subjektif politik yang memberikan ruang sangat lebar kepada presiden untuk mengeluarkan Perpu cukup berdasarkan intensi politik semata. Ironinya hingga menunggu persetujuan DPR, maka intensi politik yang berbingkai perpu akan mengikat publik sangat potensial menubruk Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun seiring dan kebutuhan konstitusional, maka hak subjektif politik ini sudah dikoreksi kembali dalam putusan MK 138/PUU-VII/2009. MK kemudian sudah memberikan kondisi penggunaan hak subjektif tersebut bahwa meskipun kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan presiden, namun subjektifitas itu harus ada dasar objektifitasnya.
Sedangkan syarat khusus pembentukan Perpu, antara lain adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara percepat berdasarkan undang-undang; undang-undang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tapi tidak memadai; kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Ketiga syarat khusus ini adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi dari sebuah Perpu, yang harus terjabarkan dan terjelaskan secara jelas dalam konsideran Perpu tersebut. Tidak terpenuhinya kondisi ini, maka siapa pun Presiden akan cenderung menyalahgunakan kewenangan dan akan kesulitan mempertanggungjawabkan Perpu itu secara terukur,” tegasnya.
Menimbulkan Ketidakpastian
Senada, Pakar Hukum Tata Negara Andi Muhammad Asrun mengatakan sejumlah norma dalam Perpu Pilkada tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa. “Misalnya, Pasal 167 atau bab 23 pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, saya kira ini tidak ada kegentingan memaksa untuk mengatur hal ini, ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa,” ujarnya.
Selain itu, dengan tidak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 digantikan dengan UU No. 22 Tahun 2014. Kemudian datang Perpu menyatakan UU No. 22 Tahun 2014 tidak berlaku. “Mana yang mau dipakai? Ini tidak ada rujukannya dan tidak jelas,” imbuh ahli yang dihadirkan pemohon perkara nomor 130/PUU-XII/2014 tersebut.
Dengan demikian, Perpu Pilkada telah menimbulkan ketidakpastian dan menimbulkan kerugian bagi Pemohon. Oleh karena itu, menurutnya, Perpu perlu segera diputus bertentangan dengan konstitusi atau atau setidak-tidaknya pasal yang diuji dinyatakan tidak berlaku.(Lulu Hanifah/mk/bhc/sya) |