JAKARTA, Berita HUKUM - Ketentuan tentang kewajiban PNS mengundurkan diri ketika mengajukan diri dalam pencalonan pemilihan kepala daerah dinilai diskriminatif. Hal ini disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember Jayus dalam Pengujian UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), pada Kamis (19/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan dua nomor perkara 8/PUU-XIII/2015 dan 9/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Fathul Hadie Utsman dan lainnya.
Jayus menjelaskan ketentuan tersebut dapat ditafsirkan oleh segenap warga negara termasuk lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat atau membentuk Undang-Undang Organik sebagai pelaksana adanya hak dan kewajiban yang sama dalam bidang hukum dan pemerintahan bagi warga negara Republik tanpa pembedaan atau adanya unsur diskriminasi baik warga negara sipil biasa maupun warga negara yang berstatus PNS. Namun, lanjut Jayus, kesalahan besar sebagai pembuat atau pembentuk undang-undang khususnya UU ASN melalui ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) tersebut yang telah menempatkan frasa wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftarkan sebagai calon. “Oleh karena itu frasa tersebut seharusnya diubah dengan frasa ‘wajib menyatakan berhenti sementara sampai dilantik dan menyelesaikan masa jabatannya’,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman.
Dalam permohonannya, para pemohon perkara 8/PUU-XII/2015 memaparkan bahwa kewajiban pengunduran diri PNS yang maju dalam bursa pencalonan kepala daerah atau pun anggota legislatif harus ditafsirkan sebagai pengunduran diri sementara. Pemohon mengatakan bahwa dalam Pasal 119, frasa mengundurkan diri tersebut dianggap tidak menjamin kepastian hukum karena normanya bertentangan dengan norma dalam satu undang-undang. Pemohon mengungkapkan alasannya, dalam Undang-Undang tersebut juga dinyatakan bahwa bagi PNS yang menjadi Hakim Konstitusi, komisioner Komisi Yudisial, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan lembaga-lembaga lainnya hanya diwajibkan mengajukan pengunduran diri sementara, dan apabila masa jabatannya telah berakhir dapat kembali menjadi PNS. Menurut pemohon adanya ketentuan yang berbeda tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, oleh karena itu pemohon meminta kepada Mahkamah agar PNS yang mencalonkan diri menjadi pejabat negara hanya diwajibkan mundur sementara.
Aturan PPPK Merugikan Tenaga Honorer
Dalam kesempatan itu, Pemohon perkara 9/PUU-XIII/2015 menghadirkan Sugito sebagai Ahli yang menerangkan tentang Pegawai PPPK. Menurut Sugito, ketentuan mengenai pengadaan calon PPPK di instansi pemerintah melanggar hak konstitusi para pegawai honorer maupun pegawai kontrak. “Permasalahannya pada saat ini banyak pegawai kontrak, pegawai honor, guru honor yang bekerja di instansi pemerintah tidak memiliki kepastian hukum dapat ditetapkan sebagai PPPK sesuai dengan Undang-Undang ASN,” paparnya.
Selain itu, Pemohon menghadirkan saksi dari Forum Tenaga Honorer Pagar Nusantara. Dalam keterangannya, Tarmizi selaku Saksi Pemohon mengungkapkan dirinya telah bekerja sebagai tenaga teknis administrasi di Pemda DKI selama 10 tahun. Namun, lanjutnya, sampai saat ini ia belum diangkat sebagai PNS. Dengan adanya ketentuan mengenai PPPK justru semakin membuat nasibnya menjadi tidak jelas.
Lain halnya dengan perkara 9/PUU-XIII/2015, dalam permohonannya para Pemohon menjelaskan bahwa dengan berlakunya pasal yang diujikan, mereka merasa tidak memperoleh kepastian hukum yang adil akan haknya untuk dapat bekerja sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang tidak memakai sistem kontrak dan hak untuk dapat ditetapkan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara otomatis. Pada saat ini pada instansi pemerintah sudah terdapat pegawai tidak tetap pemerintah/pegawai Non-PNS yang sudah bekerja dengan status pegawai Non-PNS. Menurut Pemohon, pegawai tersebut harus secara otomatis dapat ditetapkan sebagai pegawai ASN dengan status sebagai PPPK. Jika tidak ditetapkan secara otomatis sebagai PPPK maka akan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja massal. Pegawai tersebut juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai ASN/PPPK. Padahal, pegawai pemerintah yang berstatus sebagai PNS secara otomatis ditetapkan sebagai pegawai ASN. Pemohon berpendapat, hal tersebut merupakan perlakuan yang diskriminatif.(LuluAnjarsari/mk/bh/sya) |