JAKARTA, Berita HUKUM - Demi meampik dalil Pemohon, Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) selaku Pihak Terkait dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang dimohonkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menghadirkan Ahli Hukum Pidana Syaiful Bakhri, Rabu (19/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam keterangannya, Syaiful menyatakan kekuasaan perlu dibatasi, termasuk dibatasi lewat ketentuan seperti sifat wajib ketentuan cuti petahana pada masa kampanye.
Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Syaiful mengatakan sudah menjadi adagium umum bahwa kekuasaan cenderung korup. Semakin absolut kekuasaan yang dimiliki, maka semakin mutlak potensi korup yang timbul. Dengan demikian, Syaiful menyarankan kekuasaan perlu dibatasi agar tidak disalahgunakan oleh pemegangnya. "Hal ini berlaku tidak hanya dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga dalam menyoal pemilihan kepala daerah yang diikuti oleh calon petahana," ujar Syaiful dalam sidang perkara Nomor 54, 55, dan 60/PUU-XIV/2016 tersebut.
Menurut Syaiful, salah satu cara mengekang penyalahgunaan kekuasaan adalah dengan adanya aturan Pasal 70 UU Pilkada yang mewajibkan petahana yang kembali mengikuti pemilihan kepala daerah untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara selama kampanye. UU Pemda bahkan mewajibkan calon petahana untuk mundur dari masa jabatannya untuk menghindarkan calon petahana dari potensi penyalahgunaan kekuasaan selama masa kampanye berlangsung.
"Banyak terjadi, calon petahana mengerahkan PNS dan menyelewengkan anggaran dan fasilitas demi memenangkan pemilihan kepala daerah. Adanya kewajiban untuk cuti selama masa kampanye tidak hanya bermanfaat bagi jaminan terselenggaranya pemilihan kepala daerah yang jujur dan adil, tetapi juga bagi kelangsungan demokrasi yang sehat. Apabila calon petahana tidak cuti selama masa kampanye, dapat dibayangkan berapa besar potensi penyelewengan yang mungkin timbul," tegas Syaiful.
Lebih lanjut, Syaiful menyatakan kampanye merupakan salah satu bentuk pendidikan politik kepada rakyat. Artinya, jika ada calon kepala daerah tidak mengikuti kampanye, sama saja dengan tidak berpartisipasi dalam pendidikan politik bagi rakyat. Mengingat kampanye merupakan sebuah kewajiban,lanjut Syaiful, maka aturan mengenai cuti bagi calon petahana juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh petahana sebagai konsekuensi mengikuti kampanye.
"Kita perlu mengingat bahwa kehadiran kewajiban cuti bagi petahana bukanlah demi alasan mengganjal satu atau dua orang tertentu saja, namun ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas lagi, yaitu demi pembangungan demokrasi yang sehat," tukas Syaiful.
Sebelumnya, Ahok mengajukan uji materiil terhadap Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada tentang cuti kampanye.menurutnya, ketentuan Pasal 70 ayat (3) UU Pilkada yang mengharuskan seorang calon petahana untuk cuti selama masa kampanye melanggar hak konstitusionalnya sebagai petahana yang kembali mencalonkan diri dalam pilkada. Menurutnya, menyatakan cuti adalah hak, bukan kewajiban. Ia ingin agar calon petahana diberi pilihan antara cuti untuk kampanye atau tidak cuti dengan risiko tidak boleh berkampanye.(YustiNurulAgustin/lul/MK/bh/sya) |