JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Puluhan aktivis antikorupsi yang tegabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menolak seorang calon pimpinan Komisi Korupsi (KPK), yakni Aryanto Sutadi. Hal ini mereka tunjukan dengan aksi unjuk rasa serta menggelar treatrikal di depan gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/12).
Dalam aksinya itu, mereka membentangkan police line bertuliskan do not enter Aryanto Sutadi. Police line ini terpasang menyilang tepat di depan pintu masuk utama gedung KPK. Selain itu, mereka juga membentangkan spanduk yang menuliskan sejumlah alasan unuk tidak dipilihnya unsur dari kepolisian tersebut.
Menurut juru biacara koalisi Refky Saputra, aksi ini sebagai bentuk penolakan Aryanto sebagai pimpinan KPK. Pasalnya, dalam uji kelayakan, ia menyatakan bahwa pejabat wajar menerima gratifikasi dan memperbolehkan memanipulasi laporan kekayaan. “Pernyataannya itu bertentangan dengan semangat pemberantasan Korupsi" jelasnya.
Aryanto, lanjut Refky, juga dia tidak jujur serta menolak untuk menjelaskan secara rinci nilai harta kekayaannya. Bahkan, ia mengakui memiliki pekerjaan konsultan hukum perusahaan, sejak dirinya masih berdinas di kepolisian serta pernah menjadi pembela terdakwa korupsi mantan Kapolri jenderal POl. (Purn) Rusdiharjo. “DPR jangan memaksikan diri memilih polisi, jaksa dan hakim sebagai pimpinan KPK,” tandasnya.
Tangkap Menteri
Dalam kesmepatan terpisah, Sekjen Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki menantang pimpinan KPK mendatang untuk mengusut kasus-kasus korupsi yang dilakukan aktor besar, seperti menteri-menteri yang korup. "Jika KPK berhasil menangkap menteri korup, pasti IPK (Indek Persepsi Korupsi-red) Indonesia akan membaik," ujar dia.
Menurut dia, korupsi di Indonesia makin parah. Bahkan, lebih parah pada saat Orde Baru. Korupsi sekarang dilakukan secara berjamaah dan lembaga. Modusnya juga lebih canggih dan makin sulit ditelusuri. Hal inilah yang makin membuat Indonesia terpuruk dan tak bisa keluar dari krisis.
Untuk itu, immbuh Teten, KPK harus segera menangani para pejabat tinggi negara, termasuk menteri aktif yang terlibat dalam kasus korupsi. Dengan begitu, para pejabat korup akan jera serta berpikir berkali-kali sebelum melakukan korupsi . "Bagaimana tidak buruk, yang ditangkap dan ditangani hanya pejabat-pejabat yang kecil,” selorohnya.(mic/spr)
|