PAPUA, Berita HUKUM - Sejumlah aktivis Papua mengecam keras pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta semua pihak melupakan dugaan pelanggaran HAM di masa lalu di Papua. "Itu (pernyataan yang) kurang ajar! Yang dilakukan Presiden Jokowi sekarang itu cuma menyentuh faktor akibat dari persoalan-persoalan Papua," kata Benny Giay, ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua, kepada wartawan BBC Indonesia, Ging Ginanjar.
"Padahal yang seharusnya juga ditangani adalah faktor penyebabnya, yaitu (dugaan) kekerasan-kekerasan militer terhadap warga Papua selama ini ... para pelaku harus dihukum. Pemerintah setidaknya meminta maaf kepada rakyat Papua," tegas Benny.
Permintaan melupakan masa lalu dan menatap masa depan disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua yang terlibat kegiatan Organisasi Papua Merdeka (OPM), di penjara Abepura, hari Sabtu (9/5).
'Pencitraan?'
"Sudah jangan mengungkit-ungkit masa lalu, (nanti) tidak akan ada rampungnya ... jangan menyalah-nyalahkan yang dulu ... kita ingin membuka lembaran yang baru," kata Presiden Jokowi.
Beberapa pihak mengatakan para aktivis prokemerdekaan dijatuhi hukuman penjara dalam kurun yang lama karena menyampaikan pendapat mereka secara damai, menggelar unjuk rasa, atau mengibarkan bendera bintang kejora, simbol kemerdekaan Papua.
Saat ini jumlah tahanan politik di Papua sekitar 100 orang, yang mendekam di penjara Papua dan Maluku.
Benny Giay secara khusus mempertanyakan pemberian amnesti atau grasi kepada tapol yang ia sebut sebagai pencitraan Presiden Jokowi sebelum melangsungkan lawatan ke Amerika Serikat.
Sementara, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberian grasi kepada lima orang tahanan politik yang terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM). Adapun tahanan keenam, Filep Karma, batal dibebaskan karena tak bersedia mengajukan permohonan grasi.
Berpidato di sebuah ruangan di lantai atas Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura, Provinsi Papua, Presiden Joko Widodo mengatakan pemberian grasi tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua.
“Ini adalah langkah awal. Sesudah ini akan diupayakan pembebasan para tahanan lain di daerah lain juga. Ada 90 yang masih harus diproses,” ujarnya, sebagaimana dilaporkan wartawan BBC, Ging Ginanjar.
Lima orang yang diberikan grasi oleh Presiden Jokowi adalah para pelaku serangan ke gudang senjata di markas Kodim Wamena pada 2003.
Mereka adalah Linus Hiel Hiluka dan Kimanus Henda (keduanya divonis 19 tahun 10 bulan), Jefrai Murib dan Numbungga Telenggen (keduanya divonis seumur hidup), serta Apotnalogolik Lokobalm (vonis 20 tahun).
Dua dari lima tapol tersebut didatangkan dari dari Biak dan dua orang dari Nabire. Hanya Jefrai Murib yang selama ini ditahan di LP Abepura.
Amnesti
Dalam pidatonya, Presiden sempat menyinggung Filep Karma, seorang tahanan politik yang dihukum penjara selama 20 tahun karena menaikkan bendera Bintang Kejora dan berbicara dalam pawai prokemerdekaan pada 2004 lalu.
“Benar bahwa saya mengusahakan pembebasan Filep Karma. Namun, saya maunya proses grasi. Sedangkan dia maunya amnesti. Ini rumit karena harus bicara dengan DPR. Saya nggak tahu apakah DPR akan setuju,” kata Presiden Jokowi.
Sebelumnya, kepada BBC, Filep mengatakan dia tidak mau mengajukan grasi karena itu berarti dia mengaku bersalah dan meminta presiden mengampuninya. Filep menginginkan amnesti karena, menurutnya, dia tidak bersalah.
Pegiat Human Rights Watch, Andreas Harsono, mengatakan langkah pemerintah ialah wujud pencitraan.
“Ini adalah langkah bagus, tapi tidak ada sesuatu yang baru,” ujarnya, seraya menyeru kepada presiden untuk mengupayakan amnesti bagi para tapol.(BBC/bh/sya) |